THOUSANDS OF FREE BLOGGER TEMPLATES

Jumat, 12 Agustus 2011

PEMBAHARUAN AGRARIA

Masalah Pembaruan Agraria: Dampak Land Reform terhadap Perekonomian Negara
PDF
Print
E-mail

Saturday, 08 March 2008
Pengertian dan Istilahnya
Pembaruan Agraria bukanlah gagasan baru. Usianya sudah lebih dari 2500 tahun. “Land Reform” yang pertama di dunia, terjadi di Yunani Kuno, 594 tahun Sebelum Masehi. Slogan land-to-the-tillers (tanah untuk penggarap), itu sudah berkumandang 565 tahun Sebelum Masehi! Selanjutnya, melalui tonggak-tonggak sejarah: “land reform” di jaman Romawi Kuno (134 SM); gerakan pencaplokan tanah-tanah pertanian oleh peternak biri-biri di Inggris, selama ±5 abad; dan Revolusi Perancis (1789 – 1799), maka sejak itu hampir semua negara-negara di Eropa melakukan “land reform”. Apalagi setelah Perang Dunia Kedua, pembaruan agraria dilakukan dimana-mana (ya di Asia, ya di Afrika, ya di Amerika Latin).
Selama perjalanan sejarah yang panjang itu, tentu saja konsepnya menjadi berkembang, sesuai dengan konteks waktu, kondisi fisik lingkungan alam, dan sistem politik serta orientasi kebijakan pemerintah, di masing-masing negara. Meskipun demikian, inti pengertiannya tetap sama, yaitu: “Suatu penataan kembali, atau penataan ulang, struktur pemilikan, penguasaan, dan penggunaan tanah, agar tercipta suatu struktur masyarakat yang adil dan sejahtera.”
Istilah yang semula dipakai adalah “land reform”. Sesuai dengan kondisi sosial budayanya, dan orientasi pandangan ekonomi dari para perencananya di masing-masing negara, maka pola “land reform” di berbagai negara bangsa itu bisa dibedakan menjadi tiga, yaitu: yang bersifat redistributif; yang bersifat kolektivist; dan yang campuran dari keduanya itu. (Di negara-negara sosialis, “land reform”nya bersifat kolektivist; dinegara-negara non-sosialis pada umumnya bersifat redistributive)
Pengalaman sejarah memberi pelajaran bahwa suatu pembaruan agraria yang hanya berhenti pada masalah redistribusi tanah ternyata justru menyebabkan produksi menurun untuk beberapa tahun. Hal ini disebabkan karena infrastruktur yang menunjang pembaruan itu semula belum dipikirkan sejak awal. Karena itu kemudian disadari bahwa program-program penunjang itu harus menjadi satu paket dengan program pembaruan secara keseluruhan, termasuk ke dalamnya program-program pasca redistribusi (antara lain: perkreditan, penyuuhan, pendidikan, dan latihan, teknologi, pemasaran, dan lain-lain). Jadi, “land reform” plus program-program penyiapan berbagai infrastruktur itulah yang kemudian di beri istilah dalam bahasa Inggris Agrarian Reform.
Namun kemudian, istilah Agrarian Reform yang sering digunakan secara bergantian dengan Land Reform itu, dirancukan lagi oleh mereka yang berpandangan bahwa (karena luasnya isi) Agrarian Reform itu pada hakekatnya sama dengan pembangunan pedesaan secara menyeluruh, maka berangsur-angsur istilah tersebut tergeser oleh istilah Agricultural Development. Akibatnya, intinya (yaitu “Land Reform”) terabaikan. Karena itu sekarang, dalam lingkaran wacana dunia, istilah yang lebih populer digunakan adalah Reforma Agraria (bahasa Spanyol), untuk menghindari kerancuan istilah tersebut di atas.
Relevansi Gagasan Bung Karno dalam Masalah Agraria
Di antara sejumlah besasr pemikiran-pemikiran BK mengenai masyarakat dan negara, ide-ide yang manakah sebenarnya yang menjadi “gagasan-besar”nya, gagasan pokoknya? Dalam hal ini orang dapat saja berdebat. Namun menurut pendapat saya, gagasan pokoknya adalah bahwa BK ingin membangun sebuah masyarakat yang bebas dari “l’exploitation de l’homme pa l’homme”, yaitu bebas dari “pmerasan manusia oleh manusia”. Konsekuensinya adalah bahwa sikap perjuangannya adalah anti-kapitalisme, anti-kolonialisme, dan anti-imperialisme! Sebab ketiga “isme” itulah yang dipercayai mengandung gejala “pemerasan manusia oleh manusia” di jaman modern, yang mungkin bahkan melebihi praktek tersebut pada jaman feudal. Bagi BK, kata “merdeka” bukan berarti sekedar kemerdekaan politik, bukan sekedar “mempunyai pemerintahan bangsa sendiri”, melainkan jauh lebih luas daripada itu. “Merdeka” pada hakekatnya adalah bebas dari “pemerasan manusia oleh manusia”. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa gagasan besar BK itu tercermin dari kenyataan bahwa BK memperoleh gelar “Doctor-Honoris-Causa” sebanyak 26 (yaitu 6 dari universitas di dalam negeri, dan 20 dari universitas-universitas luar negeri, termasuk dua universitas terkenal di Amerika Serikat!). Mungkin saja, mereka yang a’priori anti-Soekarno akan berkata: “Itu gelar politis”. Sebagian mungkin saja benar, tetapi jelas tidak semuanya (Silahkan baca buku karangan 4 profesor dari Michigan University, AS, yang berjudul “Indonesia Accuses”).
Dalam kaitan dengan gagasan dasar tersebut di atas, sejak muda BK sudah memperhatikan masalah agraria. Dan salah satu tulisannya di tahun 1933 BK menyinggung buku “Die Agrarfrage” (Persoalan Kaum Tani), sekalipun tidak membahasnya lebih lanjut. (Lihat DBR, halaman 255). Buku itulah yang di Eropa memancing timbulnya “Debat Agraria” selama ± 35 tahun (1895-1929). Setelah indonesia Merdeka, dalam pidato 17 Agustus 1960 (Pidato “Jarek”), BK antara lain berkata:
- “Revolusi Indonesia tanpa “landreform” adalah sama saja dengan gedung tanpa alas, sama saja dengan pohon tanpa batang, sama saja dengan omong besar tanpa isi.....”
- “Tanah tidak boleh menjadi alat penghisapan! Tanah untuk Tani! Tanah untuk mereka yang betul-betul menggarap tanah!”
- “Dan PBB sendiri tempo hari menyatakan bahwa “Defects in agrarian structure and particular, systems of land tenure, prevent a rise in the standard of living of small farmers and agricultural laborers, and impede economic development”.
Sangat jelas bahwa gagasan-gagasan BK itu amat relevan untuk melihat kondisi kita, selama Orde Baru maupun saat sekarang ini. Sekalipun Indonesia telah merdeka, sekalipun kita mempunyai pemerintah bangsa sendiri, Orde Baru justru menciptakan suatu susunan masyarakat yang penuh dengan l’exploitation de l’homme par l’homme. Petani kecil digusur dari tanahnya secara semena-mena, sementara segelintir konglomerat menguasai jutaan hektar.
Kebijakan pembangunan yang menggantungkan diri kepada hutang luar negeri dan modal asing (sesuatu yang sangat ditentang baik oleh BK maupun Bung Hatta), itulah yang akhirnya membawa bangsa Indonesia terjembab ke dalam krisis berkepanjangan sekarang ini.
Dengan mengraikan hal-hal di atas itu, maksudnya bukan untuk mengkultuskan BK. Sama sekali tidak! Melainkan, sekedar melihat relevansinya terhadap kenyataan sekarang ini.
Tujuan, Sifat dan Prasyaratnya
Seperti telah disebutkan, tujuan pembaruan agraria adalah untuk membangun susunan masyarakat yang lebih adil. Jadi awalnya, kebijakan “land reform” adalah lebih merupakan kebijakan sosial (pemerataan) dan bukan kebijakan ekonomi (produksi). Namun kemudian, orang pun sadar bahwa untuk itu diperlukan adanya economic rationale yang dapat memberi alasan mengapa pembaruan itu perlu dilakukan. Karena itu, khususnya setelah Perang Dunia Kedua, pembaruan agraria di berbagai negara paa umumnya, memasukkan berbagai aspek dalam pertimbangannya (sosial, ekonoi, politik, hukum dan budaya). Karena itu, selalu dipertimbangkan agar pembaruan agraria itu:
       = “politically tolerable”
       = “economic viable”
       = “culturally understandable”
       = “socially acceptable”
       = “ legally justifiable”
       = “technically applicable”
Atas dasar tujuan umum  dan pertimbangan seperti itu, maka, terutama di negara-negara non-sosialis, muatan konkrit dari pembaruan agraria adalah mengatur-ulang alokasi penyediaan tanah; menata-ulang status dan luas pemilikan, pengusaaan, dan penggunaan tanah; mengatur-ulang tata-cara perolehan tanah; dan menata-ulang penggunaan tanah.
Perencanaan dan pelaksanaan pembaruan agraria di berbagai negara di dunia, dapat dibedakan atas dasar sifat-sifatnya, yaitu ada yang “lunak”, ada yang “moderat”, dan ada yang “radikal”. Menurut berbagai pakar, program “land reform” di Indonesia (1960-an) termasuk “moderat”.
Pelaksanaan program pembaruan agraria di berbagai negara itu ada yang dianggap berhasil, ada yang dianggap gagal. Penilaian itu sendiri sangat tergantung dari ukuran-ukuran apa yang diapaki dalam mengevaluasi hasil pembaruan itu. Pakar yang satu dapat berbeda penilaiannya dari pakar yang lain. Misalnya, oleh sejumlah pakar, pembaruan agraria di Jepang, Korea Selatan, dan Taiwan, dianggap sebagai contoh keberhasilan.
Atas dasar pengalaman sejarah berbagai negara yang pernah melaksanakan pembaruan agraria, maka pakar-pakar dunia pada umumnya sepakat bahwa, agar suatu pembaruan agraria berpeluang untuk berhasil, diperlukan sejumlah prasyarat. Yang terpenting, antara lain adalah: “kemauan politik dari pemerintah harus ada; organisasi rakyat, khususnya organisasi tani yang kuat dan pro-reform harus ada; data mengenai keagrariaan yang lengkap dan teliti, harus tersedia; elit penguasa harus terpisah dari elit bisnis; dan aparat birokrasi, bersi, jujur, dan “mengerti” (Cf. Russel King, 1977).
Di Indonesia saat ini, barangkali prasyarat yang keempat (d) itulah yang sangat sulit diwujudkan. Sedangkan tiga yang disebut pertama,sekalipun juga bukan hal yang mudah, masih lebih gampang didorong.
Model-model Reforma Agraria
Secara garis besar, pola reforma agraria itu secara normatif dapat dibedakan menjadi tiga model (dan masing-masing model tentu saja ada varian-variannya sendiri-sendiri), yaitu: kolektivisasi model sosialis; “family farm” model kapitalis; dan family farm model neo-populis (Cf. Ghose, 1983; Prosterman, et.al., 1987)
Sekalipun suatu negara sudah menetapkan secara normatif memilih sesuatu model, namun dalam proses pelaksanaannya terjadi suatu perkembangan yang mengubah arah, Contoh-contohnya misalnya Italia semula memilih model kapitalis, yang terjadi kemudian mirip model sosialis. Yugoslavia (sebagai negara sosialis), memakai sosialis, namun yang berkembang kemudian adalah mirip model neo-populis. Jepang sengaja atau tidak, semula pola land reformnya cenderung berciri model neo-populis, tapi kemudian menjadi model kapitalis.
Bagaimana di Indonesia? "Land Refrom” yang pernah dicoba untuk dilaksanakan pada awal dekade 1960-an itu sebenarnya belum selesai (keburu berganti pemerintahan yang kebijakan politik-ekonominya berbeda sama sekali). Bukan saja pelaksanaannya yang belum selesai, tapi juga bahkan design programnya pun sebenarnya pun belum tuntas. Penjabaran UUPA-1960 berupa U No. 56/1960 (yang dikenal sebagai UU Land Reform) itu baru menyangkut pertanian rakyat. Sedangkan sektor-sektor lain seperti perkebunan, pertambangan, kelautan, kehutanan, dan lain-lain, belum sempat tergarap. Dengan demikian, tidak mudah untuk memberikan penilaian. Namun kalau dilihat dari isi UUPA-1960 itu, jelas, semangatnya adalah semangat Neo-Populis (walaupun BK memakai istilah “sosialisme Indonesia”). Tetapi sayangnya, ciri ini sedikit dipudarkan oleh UU No. 56/1960 yang menetapkan batas minimum penguasaan tanah seluas 2 ha, sehingga jumlah beneficiaries relatif kecil (29%) jika dibanding dengan negara-negara lain yang dianggap berhasil (mosalnya, Jepang 71%; Korea Selatan 66%; Meksiko 66%; Peru 37%; Bolivia 34%; Vietnam 72%) (Lihat, Rehman Sobhan 1993). Dengan demikian, tingkat ketimpangannya pun tetap tinggi (diukur dengan indeks Gini, padatahun 1973: 0.53). Apalagi sekarang, jelas kondisinya jauh lebih parah.
Reforma Agraria: Landasar Dasar bagi Ketahanan Ekonomi

Mengapa diperlukan Reforma Agraria? Sebelum menjawab pertanyaan ini aa beberapa hal yang perlu dicatat lebih dulu, walaupun secara sangat ringkas, yaitu masalah krisis dan masalah sengketa tanah.
Menurut studinya Fred Harrison (1983), semua krisis yang pernah dialami dinia, seumber utamanya adalah merajalelanya “spekulasi tanah”. Tetapi mengapa praktek spekulasi tanah merajalela? Karena tanah diperlakukan sebagai komoditi (barang dagangan). Dalam sistem ekonomi liberal maupun neoi-liberal – pasar bebas – semua hal dapat dijadikan barang dagangan, dan semua orang berhak untuk berspekulasi. Secara makro nasional, spekulasi tanah berakibat terjadinya peningkatan pengangguran dan sekaligus penurunan produktivitas.
Mengapa terjadi sengketa agraria? Disamping faktor politik, faktor utama lainnya adalah faktor kondisi obyektif berupa terjadinya berbagai ketimpangan, yaitu ketimpangan dalam hal alokasi sumber agraria/tanah; ketimpangan dalam hal sebaran pemilikan, penguasaan dan penggunaan tanah, yang pada gilirannya (di negara agraris) melahirkan ketimpangan-ketimpangan sebaran pendapatan; ketimpangan dalam masalah hukum yang berkaitan dengan tanah (Lihat, a.l. Christodoulou, 1990, seperti dikutip oleh G. Wiradi, 2000).
Atas dasar itu semua, maka diperlukan Reforma Agraria, agar perekonomian negara mempunyai ketahanan dalam menghadapi krisis. Tetapi, apa sebenarnya dampak positif yang diharapkan dari Reforma Agraria? Secara umum, yang diharapkan adalah:
(a) Aspek hukum: akan tercipta kepastian hukum mengenai hak-hak rakyat terutama kaum tani.
(b) Aspek sosial: akan tercipta suatu struktur sosial yang dirasakan lebih adil.
(c) Aspek psikologis: kedua hal tersebut pada gilirannya akan menimbulkan social euphoria dan familly security sehingga para petani termotivasi untuk mengelola usahataninya dengan lebih baik.
(d) Aspek politik: semua itu akhirnya dapat meredam keresahan sehingga gejolak kekerasan dapat terhindari. Terciptalah stabilitas yang genuine, bukan stabilitas semu akibat represi (seperti masa Orde Baru).
(e) Semuanya itu akhirnya bermuara kepada ketahanan ekonomi.
Secara lebih rinci dampaknya terhadap perekonomian masyarakat/nasional, kurang lebih sebagai berikut (Cf. A.T. Mosher, 1976):
(a) Dalam beberapa kasus, memang untuk beberapa tahun produksi pertanian menurun (misalnya, di Taiwan), namun sesudah itu meningkat pesat. Sejumlah besar rakyat desa yang semula tunakisma atau buruh tani lalu menjadi petani pemilik penggarap, mula-mula canggung. Namun dalam jangka panjang mereka malahan berkembang menjadi pengelola usahatani yang rasional dan bertanggung jawab (justru karena bangga atas terjadinya perubahan status).
(b) Anak-anak dari para petani pemilik tanah luas (yang kemudian tanahnya dipotong oleh “Land Reform”) terpaksa tidak lagi bisa menikmati kekayaan orang tuanya yang berasal dari tanah luas itu, dan tidak lagi bisa meneruskan profesi orang tuanya. Namun mereka justru beralih ke profesi lain (melalui pendidikan tinggi, yang biayanya dimungkinkan oleh sisa-sisa kekayaan orang tuanya), dan menjadi tenaga-tenaga ahli yang kompeten. Dalam jangka panjang, hal ini sangat menyumbang bagi perkembangan perekonomian negaranya. (Contoh: Meksiko, nesir, dan negara-negara di sektiar Timur Tengah).
(c) Pemilik/Penguasa tanah luas yang  sebagian tanahnya terpangkas oleh ‘land reform’ itu kemudian mengalihkan investasinya ke luar desa, yang pada gilirannya menopang proses industrialisasi.
Penutup
Demikianlah secara singkat ringkas apa yang dapat saya sajikan. Karena masalah tanah adalah masalah yang melandasi hampir semua aspek kehidupan, maka tentu saja masih banyak sekali hal-hal yang terpaksa belum tercakup dalam uraian tersebut di atas. Walaupun demikian, mudah-mudahan saja isi tulisan ini sedikit atau banyak dapat menambah wawasan bagi mereka yang mungkin sudah memahaminya, dan merangsang perhatian bagi mereka yang sebelumnya tak tersisa di hatinya untuk memperdulikan masalah bangsa yang paling mendasar ini. Terima kasih.
Bahan Acuan

Ghose, A.K. (ed) (1983): Agrarian Reform in Contemporary Developing Countries. London: Croom Helm, Ltd.
King, R. (1977): Land Reform. A World Survey, Boulder, Colorado: Westview Press.
Mosher, A.T., 1976. Thinking About Rural Development. New York: Agricultural Development Council, Inc.
Sobhan, R., 1993. Agrarian Reform and Social Transformation. London and New Jersey: Zed Books.
Prosterman, R.L. and J.M. Reidinger, 1987. Land Reform and Democratic Development, Baltimore and London: The John Hopkins University Press.
Soekarno, 1963. Jalannya Revolusi Kita (Jarek), Pidato Presiden, 17 Agustus 1963.
________________: Dibawah Bendera Revolusi. Jilid I.
Wiradi, Gunawan, 2000. Reforma Agraria : Perjalanan Yang Belum Berakhir, Yogyakarta: Insist Press, KPA dan Pustaka Pelajar.
Wiradi, Gunawan, 2001. “Reforma Agraria: Tuntutan Bagi Pemenuhan Hak-ak Asasi Manusia”. Makalah dalam ‘Konperensi Nasional Petani’, yang diselenggarakan oleh Komnas HAM bekerjasama dengan sejumlah LSM di Cibubur, Jakarta, tanggal 17 – 20 April 2001.

0 komentar: