THOUSANDS OF FREE BLOGGER TEMPLATES

Rabu, 10 Agustus 2011

HAK MENGUASAI DARI NEGARA


HAK MENGUASAI NEGARA
Suatu Pendekatan Historis-Filosofis
Dengan keras, Noer Fauzi dan Dianto Bachriadi mengatakan: “HMN sebagai kekuasaan tertinggi yang bisa dilekatkan atas tanah, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, tetap dianut dan dijadikan dasar legitimasi bagi pelbagai unjuk kekuasaan dalam pengadaan tanah untuk proyek-proyek pembangunan”.
Menjadi penting untuk mengetahui konsep Hak Menguasai Negara yang dirumuskan dalam UUPA, sebelum dapat memahami penilaian di atas. Setidaknya dua hal penting yang muncul: (1) Bahwa HMN telah diterima dan tetap berlaku dari sejak pembentukannya hingga sekarang. Tetapi HMN ini telah bergeser fungsi sehingga termasuk juga untuk melegitimasi Pemerintah dalam “menyukseskan” program pembangunannya yaitu dengan pengambilalihan hak atas tanah; (2) Secara implisit, pada dasarnya—seharusnya, HMN tidak dipahami demikian. Dengan alasan ini, aspek historis-filosofis dari HMN menjadi perlu setidaknya untuk mengetahui konteks dan maksud pembentukannya.
Jika dirunut secara historis-filosofis, salah satu arti penting konseptualisasi Hak Menguasai Negara dalam Undang-Undang Pokok Agraria adalah penghapusannya yang secara tegas terhadap domein theori yang dianut hukum pertanahan kolonial. Konsep pemilikan atas tanah oleh negara yang sebenarnya bertujuan untuk memberi legalisasi dan legitimasi bagi perusahaan perkebunan swasta dalam perolehan lahan yang luas di Hindia Belanda, adalah bertentangan dengan negara Indonesia yang telah merdeka dan pandangan hidup bangsa, karenanya harus dihapuskan dari hukum pertanahan nasional.
Secara singkat, Teori Domein yang berintikan pemilikan Negara atas tanah ini lahir sebagai hasil revitalisasi hubungan feodalistik pada masa sebelumnya yang telah dimanfaatkan oleh VOC (Vereenigde Oost-Indische Compagnie), dan begitu juga pada masa pemerintahan Raffles (1811-1816). Yang untuk selanjutnya diperkuat dengan domein verklaring dalam Agrarisch Besluit (Staatsblad 1870 No. 118) sebagai aturan pelaksana AW 1870, bahwa semua tanah yang orang lain tidak dapat membuktikan bahwa tanah itu tanah eigendomnya, adalah domein negara. Meskipun pada konsepsinya, selain bertujuan menjamin hak rakyat Indonesia atas tanahnya4 dan kekuasaan negara atas tanah sebagai pemilik mutlak dimaksudkan hanya pada tanah-tanah tak bertuan yang tidak dapat dibuktikan hak eigendom dan hak agrarische eigendomnya, tetapi pada penerapannya sungguh berbeda. Pemerintah Belanda menafsirkan secara sempit hak eigendom sebagai hak milik adat (hak milik rakyat berdasar hukum adat—pen.) yang telah dimohonkan oleh pemiliknya melalui prosedur tertentu dan diakui keberadaannya oleh pengadilan saja. Hal ini tentu saja sangat merugikan rakyat pribumi karena tanpa pembuktian berdasar hukum Barat tersebut pribumi (pemegang hak milik adat) hanya dianggap sebagai pemakai tanah domein negara. Meski hubungan hukum dengan tanah yang bersangkutan tetap diakui, tetapi dalam perundang-undangan, hak milik adat hanya disebut sebagai hak memakai individual turun temurun (erfelijk individueel gebruiksrecht) dan kemudian sebagai hak menguasai tanah domein negara (Inlands bezitrecht). Kemudian tanah-tanah hak milik adat tersebut—karena tidak disamakan dengan hak eigendom dalam hukum Barat—dianggap sebagai tanah negara tidak bebas (onvrij lands domein) dimana negara tidak secara bebas dapat memberikannya kepada pihak lain, dengan dibatasi hak rakyat tersebut.
Pembedaan tanah negara bebas dan tanah negara tidak bebas berpengaruh pada proses pengambilalihan tanah oleh negara. Terhadap tanah negara tidak bebas (tanah milik rakyat berdasar hukum adat) pengambilalihan harus melalui acara yang diatur dalam pasal 133 IS dengan ganti rugi yang layak. Sedangkan terhadap tanah ulayat hanya diberikan “recognitie” sebagai pengakuan adanya hak masyarakat hukum adat yang bersangkutan. Konsep pemberian “recognitie” untuk tanah yang dikuasai masyarakat hukum adat ini juga masih berlaku pada hukum pertanahan pasca kemerdekaan, misalnya dalam Keputusan Presiden Nomor 55 Tahun 1993 yang menyatakan bahwa pengambilalihan hak masyarakat hukum adat atas tanah ulayat dilakukan dengan membayar recognitie yang dapat berupa fasilitas umum yang bermanfaat bagi masyarakat tersebut.
Sedangkan tanah hak ulayat yang meskipun menurut kenyataannya masih ada dan ditaati oleh masyarakat hukum adat, tidak diakui keberadaannya berdasar domein verklaring itu. Sehingga dikategorikan domein negara, yaitu sebagai tanah negara bebas (vrij lands domein)5.
Tidak dapat dipungkiri bahwa AW 1870 adalah produk politik yang didorong oleh kepentingan-kepentingan tertentu, dalam hal ini terutama kepentingan para kapitalis, pengusaha asing. Pemberlakuan secara eksplisit dalam Wet dibutuhkan para kapitalis untuk menjamin kepastian hukum yang memudahkan mereka dalam memperoleh lahan yang luas demi pendirian dan pengembangan usaha mereka di Hindia Belanda. Konsep domein negara ini memberi kewenangan yang luas kepada Negara sebagai pemilik untuk memanfaatkan berdasar kepentingannya. Begitu juga ketika desakan kapitalis mendorong Negara untuk menggunakan kewenangannya demi kepentingan mereka. Dengan beralihnya kewenangan Negara atas tanah yang luas kepada kaum kapitalis menimbulkan “negara dalam negara.” Inilah yang kemudian menjadi permasalahan besar sejak awal kemerdekaan bangsa Indonesia.
Selanjutnya, pasca kemerdekaan. Perumusan pasal 33 dalam UUD 19456: “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”, adalah sebagai dasar konstitusional pembentukan dan perumusan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA). Dua hal pokok dari pasal ini adalah sejak awal telah diterima bahwa Negara ikut campur untuk mengatur sumber daya alam sebagai alat
UUPA sendiri lahir dalam konteks “...perjuangan perombakan hukum agraria nasional berjalan erat dengan sejarah perjuangan bangsa Indonesia untuk melepaskan diri dari cengkraman, pengaruh, dan sisa-sisa penjajahan; khususnya perjuangan rakyat tani untuk membebaskan diri dari kekangan-kekangan sistem feodal atas tanah dan pemerasan kaum modal asing...”7.
Semangat menentang strategi kapitalisme dan kolonialisme yang telah menyebabkan terjadinya “penghisapan manusia atas manusia” (exploitation de l’homme par l’homme) di satu sisi; dan sekaligus menentang strategi sosialisme yang dianggap “meniadakan hak-hak individual atas tanah” di sisi lain menjadi landasan ideologis dan filosofis pembentukan UUPA. Selain itu, salah satu arti penting UUPA lainnya, bahwa hukum agraria nasional adalah berdasar hukum adat (yang disaneer8—Boedi Harsono) dan tidak lepas dari konteks landreform yang menjadi agenda pokok pembentukan struktur agraria saat itu.

Demikian pula dengan konsep HMN9. Kewenangan HMN tersebut dipahami dalam kerangka hubungan antara Negara dengan bumi, air dan kekayaan alam di dalamnya sebagai hubungan penguasaan, bukan hubungan pemilikan seperti di Negara Barat maupun di negara –negara komunis. Negara dalam hal ini sebagai Badan Penguasa yang pada tingkatan tertinggi berwenang mengatur pemanfaatan tanah dalam arti luas serta menentukan dan mengatur hubungan hukum dan perbuatan hukum berkenaan dengan tanah. Sebagai penerima kuasa, maka Negara harus mempertanggungjawabkannya kepada masyarakat sebagai pemberi kuasa10. Dengan ini AP. Parlindungan menyebutnya sebagai hak rakyat pada tingkat Negara11.
Prof. Maria SW Sumardjono mengatakan bahwa kewenangan negara ini harus dibatasi dua hal: pertama, oleh UUD 1945. Bahwa hal-hal yang diatur oleh negara tidak boleh berakibat pelanggaran hak asasi manusia yang dijamin oleh UUD 1945. Peraturan yang bias terhadap suatu kepentingan dan menimbulkan kerugian di pihak lain adalah salah satu bentuk pelanggaran tersebut. Seseorang yang melepas haknya harus mendapat perlindungan hukum dan penghargaan yang adil atas pengorbanan tersebut. Kedua, pembatasan yang bersifat substantif dalam arti peraturan yang dibuat oleh negara harus relevan dengan tujuan yang hendak dicapai yaitu untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Dan kewenangan ini tidak dapat didelegasikan kepada pihak swasta karena menyangkut kesejahteraan umum yang sarat dengan misi pelayanan. Pendelegasian kepada swasta yang merupakan bagian dari masyarakat akan menimbulkan konflik kepentingan, dan karenanya tidak dimungkinkan12.
Adapun ruang lingkup pengaturannya, HMN berlaku atas semua tanah yang ada di Indonesia, baik itu tanah yang belum dihaki, juga tanah yang telah dihaki oleh perseorangan. Terhadap tanah yang belum dihaki perseorangan, HMN melahirkan istilah “tanah yang dikuasai langsung oleh negara,” atau kemudian disebut secara singkat sebagai “tanah negara”13. Sedangkan tanah yang telah dihaki perseorangan disebut “tanah yang dikuasai tidak langsung oleh negara,” atau “tanah negara tidak bebas.” Kewenangan terhadap tanah yang sudah dihaki perseorangan ini pada dasarnya bersifat pasif, kecuali jika tanah itu dibiarkan tidak diurus/ditelantarkan. Sehingga Negara dapat mengaturnya supaya produktif.
Beberapa poin penting dari HMN ini adalah bahwa:
1) Lahir dalam konteks anti imperialisme, anti kapitalisme dan anti feodalisme;
2) Sebagai penghapusan terhadap asas domein Negara yang dimanfaatkan Pemerintah kolonial untuk mengambilalih pemilikan rakyat dan kemudian menyewakan atau menjualnya kepada pengusaha asing atau partikelir;
3) Sebagai sintesa antara individualisme dan kolektivisme/sosialisme;
4) Penguasaan ini lebih bersifat mengatur dan menyelenggarakan (publik), untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat (sebagai pertanggungjawaban);
5) Dibatasi oleh Konstitusi;
6) Penyelenggaraan HMN adalah untuk kesejahteraan umum, dapat didelegasikan kepada daerah atau masyarakat hukum adat, tetapi tidak kepada swasta.
Selanjutnya, Moh. Mahfud. MD berharap bahwa HMN seharusnya justru memberi jalan bagi tindakan responsif lainnya karena dari hak tersebut Pemerintah dapat melakukan tindakan-tindakan yang berpihak bagi kepentingan masyarakat15. Dua hal penting dari pendapat tersebut, Pemerintah seharusnya bisa secara proaktif dan responsif mengeluarkan regulasi mengenai pengaturan dan penyelenggaraan pengelolaan sumber daya agraria, dengan memperhatikan setidaknya enam unsur yang terkandung dalam HMN tersebut di atas. Tetapi seluruh regulasi yang mengatasnamakan HMN tersebut harus dalam kerangka keberpihakannya pada kepentingan masyarakat.
Tidak dipenuhinya unsur-unsur tersebut, mengakibatkan HMN pada perkembangannya justru dinilai telah memberikan kontribusi yang signifikan atas terjadinya sejumlah sengketa keagrariaan di Indonesia sebagaimana dikatakan oleh Noer Fauzi dan Dianto Bachrudi di atas. Dengan menggunakan HMN sebagai legitimasi, pemerintah justru menepikan dan menegasikan hak-hak rakyat atas tanah. Dikeluarkannya berbagai produk perundang-undangan sektoral tentang pertambangan, kehutanan, perkebunan, dan sumber daya air, menunjukkan pergeseran pemaknaan HMN. Terlalu banyak contoh yang bisa disebut, tetapi pengambilalihan hak atas tanah (dengan dalih) untuk “kepentingan umum” yang seringkali menimbulkan konflik dan pemberian hak guna usaha 95 tahun dalam UUPMA kemarin, adalah bukti yang tak tersangkal.
Penting untuk mengevaluasi dan merenungkan kembali paradigma kita tentang segala yang berkaitan dengan SDA dan kebijakan pembangunan...(***)

1 komentar:

Anonim mengatakan...

Sunset Strip Casino | Review & Bonus Code - SEGATTIPS
Sunset Strip Casino is located on the Sunset 인카지노 Strip in Las Vegas, Nevada. It is located in the northern 샌즈카지노 part of the city and was 메리트카지노 opened in April 1993.