THOUSANDS OF FREE BLOGGER TEMPLATES

Jumat, 12 Agustus 2011

LAPORAN ORIENTASI TUGAS
CALON PEGAWAI NEGERI SIPIL
BADAN PERTANAHAN NASIONAL
REPUBLIK INDONESIA


BAB 1
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia adalah salah satu Lembaga Pemerintah yang mempunyai tugas, fungsi dan kewenangan untuk mengelola pertanahan di seluruh tanah air yang harus berkontribusi nyata untuk menciptakan kehidupan yang aman, damai, adil dan sejahtera dalam melakukan pelayanan terhadap masyarakat di bidang Pertanahan. Untuk mengelola masalah pertanahan di Indonesia maka dibentuklah lembaga pemerintahan yang khusus menangani masalah pertanahan yaitu Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia.
Berdasarkan arahan kepala BPN RI, sebagai calon pemimpin dan penerima tongkat estafet untuk melanjutkan eksistensi BPN RI dimasa akan datang, maka setiap CPNS BPN RI pada jenjang pendidikan sarjana diwajibkan mengikuti orientasi tugas pada setiap unit kerja dilingkungan BPN RI dengan tujuan agar CPNS dimaksud memiliki pengetahuan dan pemahaman mengenai portofolio BPN RI secara menyeluruh dan utuh. Oleh karena itu, seluruh CPNS BPN RI dibagi menjadi beberapa kelompok tepatnya 28 kelompok sesuai jumlah direktorat yang dimiliki BPN RI, sehingga para CPNS RI tahu apa saja yang dikerjakan diseluruh unit direktorat/ unit kerja BPN RI sehingga lebih siap dalam melaksanakan tugas yang akan dilaksanakan kelak.
Berdasarkan ketentuan panitia orientasi CPNS BPN RI maka kami kelompok 11, pada pelaksanaan praktek kerja CPNS BPN RI mendapat kesempatan untuk melaksanakan praktek orientasi CPNS BPN RI pada Direktorat Wilayah Pesisir, Pulau-pulau Kecil, Perbatasan dan Wilayah Tertentu. Hal ini dimaksudkan untuk mengetahui apa saja yang dikerjakan disana, peraturan dan pedoman apa saja yang menjadi dasar dalam melaksanakan tugas unit kerja, serta kendala / permasalahan program kegiatan apa saja yang dihadapi.


B. MAKSUD DAN TUJUAN
Maksud dari pembuatan laporan orientasi tugas CPNS adalah sebagai berikut :
a. Apa yang dikerjakan di Direktorat Wilayah Pesisir, Pulau-pulau Kecil, Perbatasan dan Wilayah Tertentu?
b. Apa saja peraturan / pedoman yang menjadi dasar dalam melaksanakan tugas unit kerja direktorat?
c. Apa saja kendala / permasalahan program kegiatan yang dihadapi serta bagaimana solusinya?

Tujuan dari pembuatan laporan orientasi tugas CPNS adalah sebagai berikut :
a. Mengetahui apa saja yang dikerjakan di Direktorat Wilayah Pesisir, Pulau-pulau Kecil, Perbatasan dan Wilayah Tertentu
b. Mengetahui peraturan / pedoman apa saja yang menjadi dasar dalam melaksanakan tugas unit kerja direktorat
c. Mengetahui kendala / permasalahan program kegiatan yang dihadapi serta solusi.

C. WAKTU PELAKSANAAN
Kegiatan praktek kerja orientasi CPNS BPN RI kelompok 11 di Direktorat Wilayah Pesisir, Pulau-pulau Kecil, Perbatasan dan Wilayah Tertentu dilaksanakan mulai tanggal 8 Agustus 2011 sampai 12 Agustus 2011.



BAB II
PELAKSANAAN ORIENTASI
A. PROFIL
A.1 STRUKTUR ORGANISASI


A.2 TUGAS POKOK DAN FUNGSI
Sesuai Peraturan Kepala BPN RI No.03 tahun 2006 tentang Organisasi dan Tata Kerja BPN RI, Direktorat Wilayah Pesisir, Pulau-pulau Kecil, Perbatasan dan Wilayah Tertentu bertugas menyiapkan perumusan kebijakan teknis dan melaksanakan penataan wilayah pesisir, pulau-pulau kecil, perbatasan dan wilayah tertentu. Dalam pelaksanaannya sebagaimana dalam Pasal 276, Direktorat Wilayah Pesisir, Pulau-pulau Kecil, Perbatasan dan Wilayah Tertentu menyelenggarakan fungsi :
a. penyiapan rumusan kebijakan teknis di bidang pengaturan dan penataan penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah wilayah khusus;
b. penyusunan norma, standar, pedoman dan mekanisme pengaturan dan penataan penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah wilayah khusus;
c. inventarisasi dan identifikasi penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah/kawasan serta penyiapan bahan penentuan batas nasional, analisis daya dukung lingkungan, keanekaragaman hayati dan sosial ekonomi;
d. penyusunan program dan zonasi kegiatan penataan penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah/kawasan;
e. penyusunan pengaturan pembatasan penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah di setiap fungsi zonasi;
f. pelaksanaan penataan penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah/kawasan sesuai fungsi zonasi;
g. penyusunan bahan penetapan penguasaan dan pemilikan tanah dalam rangka penggunaan dan pemanfaatan tanah/sumber daya kawasan;
h. pelaksanaan monitoring dan evaluasi serta menyiapkan bahan pelaksanaan penegakan hukum;
i. koordinasi dengan lembaga pemerintah, instansi dan organisasi lain yang dianggap perlu sesuai dengan bidang tugasnya dalam pengembangan pemanfaatan sumberdaya kawasan.

Sesuai dengan Pasal 277, Direktorat Wilayah Pesisir, Pulau-pulau Kecil, Perbatasan dan Wilayah Tertentu terdiri dari :
1. SUBDIREKTORAT PENYIAPAN PROGRAM DAN ZONASI
Mempunyai tugas menyiapkan bahan perumusan kebijakan teknis dan melaksanakan inventarisasi, identifikasi, pengaturan dan penataan penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah.
Dalam melaksanakan tugasnya, Subdirektorat Subdirektorat Penyiapan Program dan Zonasi menyelenggarakan fungsi :
a. penyiapan bahan perumusan kebijakan teknis inventarisasi dan identifikasi penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah serta zonasi pemanfaatan kawasan;
b. penyusunan program jangka panjang, menengah dan tahunan pengaturan dan penataan;
c. pelaksanaan inventarisasi data dan informasi penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah;
d. penyusunan zonasi pemanfaatan kawasan pesisir, pulau-pulau kecil, perbatasan dan wilayah tertentu;
e. penyusunan rencana penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah berdasarkan fungsi zonasinya.

Subdirektorat Penyiapan Program dan Zonasi terdiri dari :
a. Seksi Inventarisasi dan Identifikasi Wilayah
Mempunyai tugas melakukan penyiapan bahan perumusan kebijakan teknis, mengolah, melakukan inventarisasi, analisa, dan penyajian data penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah kawasan termasuk identifikasi toponimi.
b. Seksi Program dan Zonasi
mempunyai tugas melakukan penyiapan bahan perumusan kebijakan teknis, mengolah, melakukan pengaturan, penataan dan analisis daya dukung lingkungan, keanekaragaman hayati dan sosial ekonomi.

2. SUBDIREKTORAT PENATAAN KAWASAN
Mempunyai tugas menyiapkan bahan perumusan kebijakan teknis dan melaksanakan pengaturan dan penataan penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah.
Dalam melaksanakan tugasnya, Subdirektorat Penataan Kawasan menyelenggarakan fungsi :
a. Penyiapan bahan perumusan kebijakan teknis penataan kawasan pesisir, pulau-pulau kecil, perbatasan dan wilayah tertentu;
b. Penyusunan kriteria teknis pengaturan dan penataan kawasan pesisir, pulau-pulau kecil, perbatasan dan wilayah tertentu berdasarkan fungsi zonasinya;
c. Pelaksanaan penataan penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah;
d. Pengaturan dan penetapan pembatasan penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah pesisir, pulau-pulau kecil, perbatasan dan wilayah tertentu.

Subdirektorat Penataan Kawasan terdiri dari :
a. Seksi Kawasan Konservasi dan Pemanfaatan Terbatas
Mempunyai tugas melakukan penyiapan bahan perumusan kebijakan teknis, mengolah, dan menyiapkan bahan penyusunan kriteria teknis penataan serta melakukan pengaturan dan penataan penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah di kawasan konservasi dan pemanfaatan terbatas.
b. Seksi Kawasan Pemanfaatan Sumberdaya
Mempunyai tugas melakukan penyiapan bahan perumusan kebijakan teknis, mengolah, menyiapkan bahan penyusunan kriteria teknis penataan serta melaksanakan pengaturan dan penataan penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah di kawasan pemanfaatan sumberdaya.

3. SUBDIREKTORAT MONITORING DAN EVALUASI PEMANFAATAN KAWASAN
Mempunyai tugas menyiapkan bahan perumusan kebijakan teknis dan melaksanakan pemantauan dan evaluasi serta koordinasi dan kerjasama penataan penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah sesuai fungsi zonasi.
Dalam melaksanakan tugasnya, Subdirektorat Monitoring dan Evaluasi Pemanfaatan Kawasan menyelenggarakan fungsi :
a. Penyiapan bahan perumusan kebijakan teknis pemanfaatan sumberdaya di kawasan pesisir, pulau-pulau kecil, perbatasan dan wilayah tertentu;
b. Penyusunan kriteria bimbingan teknis penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah;
c. Pelaksanaan bimbingan teknis penataan penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah melalui supervisi;
d. Pelaksanaan pemantauan dan evaluasi penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah;
e. Pelaksanaan koordinasi dan kerjasama pemanfaatan sumberdaya dalam rangka penataan penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah;
f. Penyusunan bahan penetapan perubahan penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah.

Subdirektorat Monitoring dan Evaluasi Pemanfaatan Kawasan terdiri dari :
1. Seksi Evaluasi Pertanahan dan Lingkungan
Mempunyai tugas melakukan penyiapan bahan perumusan kebijakan teknis, mengolah, memantau, mengkaji dan menganalisis perubahan serta menyusun bahan penegakan hak dan kewajiban penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah.
2. Seksi Bimbingan Teknis dan Kerjasama Pemanfaatan Sumberdaya Mempunyai tugas melakukan penyiapan bahan perumusan kebijakan teknis, mengolah, menghimpun, menyajikan peta, data, laporan bimbingan teknis, serta melaksanakan supervisi dan koordinasi pengaturan, penataan dan kerjasama pemanfaatan sumberdaya dengan pemangku kepentingan lainnya, serta menyusun bahan penetapan perubahan penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah.


B. PERATURAN DAN PEDOMAN KERJA UNIT KERJA DIREKTORAT WILAYAH PESISIR, PULAU-PULAU KECIL, PERBATASAN DAN WILAYAH TERTENTU
Dasar hukum pokok-pokok Wilayah Pesisir, Pulau-pulau Kecil, Perbatasan dan Wilayah Tertentu :
1. Undang-Undang Dasar 1945;
2. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria;
3. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 Tentang Sumber Daya Air;
4. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang;
5. Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil;
6. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup;
7. Undang-Undang Nomor 47 tahun 2009 Tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun 2010
8. Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2004 Tentang Penatagunaan Tanah;
9. Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 2006 Tentang Badan Pertanahan Nasional ;
10. Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2008 Tentang Pengelolaan Sumber Daya Air;
11. Keputusan Presiden Nomor 32 Tahun 1990 Tentang Pengelolaan Kawasan Lindung;
12. Peraturan Kepala BPN RI No. 1 Tahun 1997 Tentang Pemetaan Penggunaan Tanah Pedesaan, Penggunaan Tanah Perkotaan, Kemampuan Tanah dan Penggunaan Simbol/Warna Untuk Penyajian dalam Peta.
13. Peraturan Kepala BPN RI No. 3 Tahun 2006 Tentang Organisasi dan Tata Kerja BPN RI;
14. Peraturan Kepala BPN RI No. 4 Tahun 2006 Tentang Organisasi dan Tata Kerja Kantor Wilayah BPN dan Kantor Pertanahan.
15. Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 28 Tahun 2009 tentang Daya tampung Beban Pencemaran Air Danau dan/atau Waduk;

C. PENGERTIAN –PENGERTIAN
1. Peraturan adalah petunjuk, kaidah, ketentuan yang dibuat untuk mengatur sesuatu. ( Sumber : Kamus Bahasa Indonesia).
2. Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil adalah suatu proses perencanaan, pemanfaatan, pengawasan, dan pengendalian Sumber Daya Pesisir dan Pulau-pulau Kecil antar sektor, antara pemerintah dan pemerintah daerah, antara ekosistem darat dan laut, serta antara ilmu pengetahuan dan manajemen untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. (sumber : Undang-undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan wilayah Pesisir dan Pulau-pulau kecil).
3. Wilayah Pesisir adalah daerah peralihan antara ekosistem darat dan laut yang dipengaruhi oleh perubahan di darat dan laut. (sumber : Undang-undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan wilayah Pesisir dan Pulau-pulau kecil).
4. Pulau kecil adalah pulau dengan luas lebih kecil atau sama dengan 2000 km² (dua ribu kilo meter persegi) beserta kesatuan ekosistemnya.( sumber : Undang-undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan wilayah Pesisir dan Pulau-pulau kecil).
5. Kawasan adalah bagian wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang memiliki fungsi tertentu yang ditetapkan berdasarkan kriteria karakteristik fisik, biologi, sosial dan ekonomi untuk dipertahankan keberadaannya. (sumber : Undang-undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan wilayah Pesisir dan Pulau-pulau kecil).
6. Zonasi adalah suatu bentuk rekayasa tekhnik pemanfaatan ruang melalui penetapan batas-batas fungsional sesuai dengan potensi sumber daya dan daya dukung serta proses-proses ekologis yang berlangsung sebagai satu kesatuan dalam ekosistem pesisir. (sumber : Undang-undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan wilayah Pesisir dan Pulau-pulau kecil).
7. Penguasaan tanah adalah hubungan hukum antara orang per orang, kelompok orang atau badan hukum dengan tanah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. ( Sumber : PP No. 16 Tahun 2004).
8. Pemilikan Tanah adalah hak atas tanah yang dimiliki perorangan/badan hukum/instansi pemerintah yang telah terdaftar pada kantor pertanahan setempat.
9. Penggunaan Tanah adalah wujud tutupan permukaan bumi baik yang merupakan bentukan alami maupun buatan manusia. ( Sumber: PP No.16 Tahun 2004).
10. Pemanfaatan Tanah adalah kegiatan untuk mendapatkan nilai tambah tanpa mengubah wujud fisik penggunaan tanahnya. ( Sumber: PP No.16 Tahun 2004).
D. KENDALA DALAM PELAKSANAAN TUPOKSI WP3WT
Kegiatan awal dari pelaksanaan tupoksi Wilayah Pesisir, Pulau-pulau Kecil, Perbatasan dan Wilayah Tertentu adalah kegiatan inventarisasi. Setelah melakukan inventarisasi, maka dilanjutkan dengan kegiatan penataan kawasan serta monitoring dan evaluasi. Namun sejak dibentuk tahun 2006, kegiatan Direktorat WP3WT masih pada langkah awal, yaitu inventarisasi P4T WP3WT. Selama kegiatan inventarisasi, ditemukan beberapa kendala yang diantaranya :
1. Kendala pada saat proses pengumpulan data. Data-data yang digunakan berupa peta terkadang tidak sinkron antara satu sama lainnya. Sehingga, dari Kantor Pusat BPN RI harus turun langsung ke lapangan untuk melakukan pengukuran ulang dan memastikan objek yang terdapat di lapangan. Hal ini menyebabkan kegiatan inventarisasi P4T menjadi lebih lama dan menambah jumlah anggaran. Ketidaksinkronan data-data tersebut disebabkan proses pengambilan data yang tidak tepat oleh personil di daerah, serta kurangnya sarana dan prasarana penunjang.
2. Kegiatan inventarisasi di lapangan mengalami kesulitan dikarenakan tempat-tempat yang menjadi objek dari kegiatan inventarisasi mengenai wilayah pesisir, pulau-pulau kecil, perbatasan dan wilayah tertentu berada di daerah yang sulit sekali dijangkau, dan membutuhkan waktu dan anggaran yang sangat besar serta memerlukan jumlah tenaga ahli yang relative banyak. Dipandang dari segi keadaan masyarakatnya yang berada di daerah seperti perbatasan lebih terlihat kurang adanya perhatian sehingga dari segi kehidupannya dan perkembangan sosial, ekonomi dan budayanya lebih mengarah kepada kebudayaan Negara yang berbatasan. Hal tersebut dikarenakan daerah Negara yang berbatasan perkembangan ekonomi dan pembangunannya lebih cepat mengalami kemajuan.

E. ANALISIS PERMASALAHAN
Kendala yang dihadapi oleh direktorat WP3WT pada umumnya dikarenakan ketidaklengkapan data, terutama data spasial yang berupa peta. Berikut beberapa analisa yang dapat dijadikan pertimbangan dalam mengurangi kendala dan permasalahan yang terjadi :
1. Peta adalah salah satu alat yang dapat digunakan untuk mengambil keputusan dalam menyelesaikan masalah yang berkaitan dengan kegiatan-kegiatan yang menyangkut data keruangan. Sebagai dasar pengambilan keputusan, maka peta haruslah dapat memberikan informasi yang akurat. Keakuratan peta dapat dinilai dari proyeksi dan koordinat yang digunakan, skala penggambaran peta yang menunjukkan kedetilan obyek, tahun pembuatan yang menunjukkan seberapa update-nya objek-objek yang terdapat dalam peta tersebut.
2. Peta dasar yang digunakan dalam inventarisasi kegiatan P4T Direktorat Wilayah Pesisir, Pulau-pulau Kecil, Perbatasan, dan wilayah Tertentu berasal dari overlay peta citra satelit terbaru dengan peta tematik pendaftaran tanah. Syarat overlay agar dapat menjadi peta dasar yang baik antara lain :
• Kesamaan skala peta;
• Kesamaan proyeksi dan koordinat yang digunakan;
• Kesamaan objek peta yang berkaitan dengan data temporal (waktu).
Namun dalam pelaksanaan kegiatan inventarisasi P4T, masih banyak ditemukan peta-peta pendaftaran tanah yang akan dioverlaykan tidak memenuhi syarat-syarat di atas.
3. Peta pendaftaran tanah diperoleh dari personil yang ada di daerah. Tingkat keakuratan peta pendaftaran tanah dipengaruhi dari proses pengambilan data dilapangan oleh personil di daerah. Untuk itu, agar mendapatkan peta pendaftaran tanah yang baik, maka dapat dilakukan pelatihan-pelatihan di tingkat daerah, serta penambahan sarana dan prasarana penunjang.
4. Untuk membantu mengatasi masalah anggaran, maupun adanya redudansi data (terdapat dua data yang sama), maka dapat dilakukan sharing data antar departemen dalam Badan Pertanahan Nasional, maupun dengan instansi pemerintah yang lain.




BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
1. Bahwa dalam Direktorat Wilayah Pesisir, Pulau-pulau Kecil, Perbatasan dan Wilayah Tertentu berdasarkan pembelajaran yang telah dilakukan kelompok 11 pada ketiga subdit telah melaksanakan tugas pokok dan fungsinya (tupoksi) sesuai Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 3 Tahun 2006 tentang Organisasi dan Tata Kerja Badan Pertanahan Nasional RI. Dalam struktur organisasi di lingkungan BPN RI, Direktorat Wilayah Pesisir, Pulau-pulau Kecil, Perbatasan dan Wilayah Tertentu berada di bawah Deputi III yaitu Deputi Bidang Pengaturan dan Penataan Pertanahan. Direktorat Wilayah Pesisir, Pulau-pulau Kecil, Perbatasan dan Wilayah Tertentu membawahi 3 subdirektorat yaitu Subdirektorat Penyiapan Program dan Zonasi, Subdirektorat Penataan Kawasan , dan Subdirektorat Monitoring dan Evaluasi Pemanfaatan Kawasan.
2. Direktorat Wilayah Pesisir, Pulau-pulau Kecil, Perbatasan dan Wilayah Tertentu bertugas menyiapkan perumusan kebijakan teknis dan melaksanakan penataan wilayah pesisir, pulau-pulau kecil, perbatasan dan wilayah tertentu.
3. Kendala yang banyak ditemui dilapangan mengenai kegiatan inventarisasi data P4T, seperti ketidaklengkapan data lapangan terutama untuk data spasial berupa peta. Masih banyak peta pendaftaran tanah, maupun peta tematik lainnya yang tidak seragam skala, tahun pembuatan dan koordinatnya. Sedangkan peta-peta tematik tersebut bersama dengan peta citra satelit terbaru berfungsi sebagai bahan pembuatan peta dasar guna kegiatan pendataan.
B. SARAN
1. Perlu adanya kerja sama dan koordinasi dengan instansi terkait, baik dengan sesama Instansi Pemerintah maupun dengan pihak swasta dalam sharing data yang berkaitan dengan kegiatan P4T.
2. Pengalokasian sumberdaya manusia yang handal.
3. Menambah kegiatan training yang diperlukan untuk meningkatkan kemampuan personil di daerah dalam melakukan kegiatan P4T.


PEMBAHARUAN AGRARIA

Masalah Pembaruan Agraria: Dampak Land Reform terhadap Perekonomian Negara
PDF
Print
E-mail

Saturday, 08 March 2008
Pengertian dan Istilahnya
Pembaruan Agraria bukanlah gagasan baru. Usianya sudah lebih dari 2500 tahun. “Land Reform” yang pertama di dunia, terjadi di Yunani Kuno, 594 tahun Sebelum Masehi. Slogan land-to-the-tillers (tanah untuk penggarap), itu sudah berkumandang 565 tahun Sebelum Masehi! Selanjutnya, melalui tonggak-tonggak sejarah: “land reform” di jaman Romawi Kuno (134 SM); gerakan pencaplokan tanah-tanah pertanian oleh peternak biri-biri di Inggris, selama ±5 abad; dan Revolusi Perancis (1789 – 1799), maka sejak itu hampir semua negara-negara di Eropa melakukan “land reform”. Apalagi setelah Perang Dunia Kedua, pembaruan agraria dilakukan dimana-mana (ya di Asia, ya di Afrika, ya di Amerika Latin).
Selama perjalanan sejarah yang panjang itu, tentu saja konsepnya menjadi berkembang, sesuai dengan konteks waktu, kondisi fisik lingkungan alam, dan sistem politik serta orientasi kebijakan pemerintah, di masing-masing negara. Meskipun demikian, inti pengertiannya tetap sama, yaitu: “Suatu penataan kembali, atau penataan ulang, struktur pemilikan, penguasaan, dan penggunaan tanah, agar tercipta suatu struktur masyarakat yang adil dan sejahtera.”
Istilah yang semula dipakai adalah “land reform”. Sesuai dengan kondisi sosial budayanya, dan orientasi pandangan ekonomi dari para perencananya di masing-masing negara, maka pola “land reform” di berbagai negara bangsa itu bisa dibedakan menjadi tiga, yaitu: yang bersifat redistributif; yang bersifat kolektivist; dan yang campuran dari keduanya itu. (Di negara-negara sosialis, “land reform”nya bersifat kolektivist; dinegara-negara non-sosialis pada umumnya bersifat redistributive)
Pengalaman sejarah memberi pelajaran bahwa suatu pembaruan agraria yang hanya berhenti pada masalah redistribusi tanah ternyata justru menyebabkan produksi menurun untuk beberapa tahun. Hal ini disebabkan karena infrastruktur yang menunjang pembaruan itu semula belum dipikirkan sejak awal. Karena itu kemudian disadari bahwa program-program penunjang itu harus menjadi satu paket dengan program pembaruan secara keseluruhan, termasuk ke dalamnya program-program pasca redistribusi (antara lain: perkreditan, penyuuhan, pendidikan, dan latihan, teknologi, pemasaran, dan lain-lain). Jadi, “land reform” plus program-program penyiapan berbagai infrastruktur itulah yang kemudian di beri istilah dalam bahasa Inggris Agrarian Reform.
Namun kemudian, istilah Agrarian Reform yang sering digunakan secara bergantian dengan Land Reform itu, dirancukan lagi oleh mereka yang berpandangan bahwa (karena luasnya isi) Agrarian Reform itu pada hakekatnya sama dengan pembangunan pedesaan secara menyeluruh, maka berangsur-angsur istilah tersebut tergeser oleh istilah Agricultural Development. Akibatnya, intinya (yaitu “Land Reform”) terabaikan. Karena itu sekarang, dalam lingkaran wacana dunia, istilah yang lebih populer digunakan adalah Reforma Agraria (bahasa Spanyol), untuk menghindari kerancuan istilah tersebut di atas.
Relevansi Gagasan Bung Karno dalam Masalah Agraria
Di antara sejumlah besasr pemikiran-pemikiran BK mengenai masyarakat dan negara, ide-ide yang manakah sebenarnya yang menjadi “gagasan-besar”nya, gagasan pokoknya? Dalam hal ini orang dapat saja berdebat. Namun menurut pendapat saya, gagasan pokoknya adalah bahwa BK ingin membangun sebuah masyarakat yang bebas dari “l’exploitation de l’homme pa l’homme”, yaitu bebas dari “pmerasan manusia oleh manusia”. Konsekuensinya adalah bahwa sikap perjuangannya adalah anti-kapitalisme, anti-kolonialisme, dan anti-imperialisme! Sebab ketiga “isme” itulah yang dipercayai mengandung gejala “pemerasan manusia oleh manusia” di jaman modern, yang mungkin bahkan melebihi praktek tersebut pada jaman feudal. Bagi BK, kata “merdeka” bukan berarti sekedar kemerdekaan politik, bukan sekedar “mempunyai pemerintahan bangsa sendiri”, melainkan jauh lebih luas daripada itu. “Merdeka” pada hakekatnya adalah bebas dari “pemerasan manusia oleh manusia”. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa gagasan besar BK itu tercermin dari kenyataan bahwa BK memperoleh gelar “Doctor-Honoris-Causa” sebanyak 26 (yaitu 6 dari universitas di dalam negeri, dan 20 dari universitas-universitas luar negeri, termasuk dua universitas terkenal di Amerika Serikat!). Mungkin saja, mereka yang a’priori anti-Soekarno akan berkata: “Itu gelar politis”. Sebagian mungkin saja benar, tetapi jelas tidak semuanya (Silahkan baca buku karangan 4 profesor dari Michigan University, AS, yang berjudul “Indonesia Accuses”).
Dalam kaitan dengan gagasan dasar tersebut di atas, sejak muda BK sudah memperhatikan masalah agraria. Dan salah satu tulisannya di tahun 1933 BK menyinggung buku “Die Agrarfrage” (Persoalan Kaum Tani), sekalipun tidak membahasnya lebih lanjut. (Lihat DBR, halaman 255). Buku itulah yang di Eropa memancing timbulnya “Debat Agraria” selama ± 35 tahun (1895-1929). Setelah indonesia Merdeka, dalam pidato 17 Agustus 1960 (Pidato “Jarek”), BK antara lain berkata:
- “Revolusi Indonesia tanpa “landreform” adalah sama saja dengan gedung tanpa alas, sama saja dengan pohon tanpa batang, sama saja dengan omong besar tanpa isi.....”
- “Tanah tidak boleh menjadi alat penghisapan! Tanah untuk Tani! Tanah untuk mereka yang betul-betul menggarap tanah!”
- “Dan PBB sendiri tempo hari menyatakan bahwa “Defects in agrarian structure and particular, systems of land tenure, prevent a rise in the standard of living of small farmers and agricultural laborers, and impede economic development”.
Sangat jelas bahwa gagasan-gagasan BK itu amat relevan untuk melihat kondisi kita, selama Orde Baru maupun saat sekarang ini. Sekalipun Indonesia telah merdeka, sekalipun kita mempunyai pemerintah bangsa sendiri, Orde Baru justru menciptakan suatu susunan masyarakat yang penuh dengan l’exploitation de l’homme par l’homme. Petani kecil digusur dari tanahnya secara semena-mena, sementara segelintir konglomerat menguasai jutaan hektar.
Kebijakan pembangunan yang menggantungkan diri kepada hutang luar negeri dan modal asing (sesuatu yang sangat ditentang baik oleh BK maupun Bung Hatta), itulah yang akhirnya membawa bangsa Indonesia terjembab ke dalam krisis berkepanjangan sekarang ini.
Dengan mengraikan hal-hal di atas itu, maksudnya bukan untuk mengkultuskan BK. Sama sekali tidak! Melainkan, sekedar melihat relevansinya terhadap kenyataan sekarang ini.
Tujuan, Sifat dan Prasyaratnya
Seperti telah disebutkan, tujuan pembaruan agraria adalah untuk membangun susunan masyarakat yang lebih adil. Jadi awalnya, kebijakan “land reform” adalah lebih merupakan kebijakan sosial (pemerataan) dan bukan kebijakan ekonomi (produksi). Namun kemudian, orang pun sadar bahwa untuk itu diperlukan adanya economic rationale yang dapat memberi alasan mengapa pembaruan itu perlu dilakukan. Karena itu, khususnya setelah Perang Dunia Kedua, pembaruan agraria di berbagai negara paa umumnya, memasukkan berbagai aspek dalam pertimbangannya (sosial, ekonoi, politik, hukum dan budaya). Karena itu, selalu dipertimbangkan agar pembaruan agraria itu:
       = “politically tolerable”
       = “economic viable”
       = “culturally understandable”
       = “socially acceptable”
       = “ legally justifiable”
       = “technically applicable”
Atas dasar tujuan umum  dan pertimbangan seperti itu, maka, terutama di negara-negara non-sosialis, muatan konkrit dari pembaruan agraria adalah mengatur-ulang alokasi penyediaan tanah; menata-ulang status dan luas pemilikan, pengusaaan, dan penggunaan tanah; mengatur-ulang tata-cara perolehan tanah; dan menata-ulang penggunaan tanah.
Perencanaan dan pelaksanaan pembaruan agraria di berbagai negara di dunia, dapat dibedakan atas dasar sifat-sifatnya, yaitu ada yang “lunak”, ada yang “moderat”, dan ada yang “radikal”. Menurut berbagai pakar, program “land reform” di Indonesia (1960-an) termasuk “moderat”.
Pelaksanaan program pembaruan agraria di berbagai negara itu ada yang dianggap berhasil, ada yang dianggap gagal. Penilaian itu sendiri sangat tergantung dari ukuran-ukuran apa yang diapaki dalam mengevaluasi hasil pembaruan itu. Pakar yang satu dapat berbeda penilaiannya dari pakar yang lain. Misalnya, oleh sejumlah pakar, pembaruan agraria di Jepang, Korea Selatan, dan Taiwan, dianggap sebagai contoh keberhasilan.
Atas dasar pengalaman sejarah berbagai negara yang pernah melaksanakan pembaruan agraria, maka pakar-pakar dunia pada umumnya sepakat bahwa, agar suatu pembaruan agraria berpeluang untuk berhasil, diperlukan sejumlah prasyarat. Yang terpenting, antara lain adalah: “kemauan politik dari pemerintah harus ada; organisasi rakyat, khususnya organisasi tani yang kuat dan pro-reform harus ada; data mengenai keagrariaan yang lengkap dan teliti, harus tersedia; elit penguasa harus terpisah dari elit bisnis; dan aparat birokrasi, bersi, jujur, dan “mengerti” (Cf. Russel King, 1977).
Di Indonesia saat ini, barangkali prasyarat yang keempat (d) itulah yang sangat sulit diwujudkan. Sedangkan tiga yang disebut pertama,sekalipun juga bukan hal yang mudah, masih lebih gampang didorong.
Model-model Reforma Agraria
Secara garis besar, pola reforma agraria itu secara normatif dapat dibedakan menjadi tiga model (dan masing-masing model tentu saja ada varian-variannya sendiri-sendiri), yaitu: kolektivisasi model sosialis; “family farm” model kapitalis; dan family farm model neo-populis (Cf. Ghose, 1983; Prosterman, et.al., 1987)
Sekalipun suatu negara sudah menetapkan secara normatif memilih sesuatu model, namun dalam proses pelaksanaannya terjadi suatu perkembangan yang mengubah arah, Contoh-contohnya misalnya Italia semula memilih model kapitalis, yang terjadi kemudian mirip model sosialis. Yugoslavia (sebagai negara sosialis), memakai sosialis, namun yang berkembang kemudian adalah mirip model neo-populis. Jepang sengaja atau tidak, semula pola land reformnya cenderung berciri model neo-populis, tapi kemudian menjadi model kapitalis.
Bagaimana di Indonesia? "Land Refrom” yang pernah dicoba untuk dilaksanakan pada awal dekade 1960-an itu sebenarnya belum selesai (keburu berganti pemerintahan yang kebijakan politik-ekonominya berbeda sama sekali). Bukan saja pelaksanaannya yang belum selesai, tapi juga bahkan design programnya pun sebenarnya pun belum tuntas. Penjabaran UUPA-1960 berupa U No. 56/1960 (yang dikenal sebagai UU Land Reform) itu baru menyangkut pertanian rakyat. Sedangkan sektor-sektor lain seperti perkebunan, pertambangan, kelautan, kehutanan, dan lain-lain, belum sempat tergarap. Dengan demikian, tidak mudah untuk memberikan penilaian. Namun kalau dilihat dari isi UUPA-1960 itu, jelas, semangatnya adalah semangat Neo-Populis (walaupun BK memakai istilah “sosialisme Indonesia”). Tetapi sayangnya, ciri ini sedikit dipudarkan oleh UU No. 56/1960 yang menetapkan batas minimum penguasaan tanah seluas 2 ha, sehingga jumlah beneficiaries relatif kecil (29%) jika dibanding dengan negara-negara lain yang dianggap berhasil (mosalnya, Jepang 71%; Korea Selatan 66%; Meksiko 66%; Peru 37%; Bolivia 34%; Vietnam 72%) (Lihat, Rehman Sobhan 1993). Dengan demikian, tingkat ketimpangannya pun tetap tinggi (diukur dengan indeks Gini, padatahun 1973: 0.53). Apalagi sekarang, jelas kondisinya jauh lebih parah.
Reforma Agraria: Landasar Dasar bagi Ketahanan Ekonomi

Mengapa diperlukan Reforma Agraria? Sebelum menjawab pertanyaan ini aa beberapa hal yang perlu dicatat lebih dulu, walaupun secara sangat ringkas, yaitu masalah krisis dan masalah sengketa tanah.
Menurut studinya Fred Harrison (1983), semua krisis yang pernah dialami dinia, seumber utamanya adalah merajalelanya “spekulasi tanah”. Tetapi mengapa praktek spekulasi tanah merajalela? Karena tanah diperlakukan sebagai komoditi (barang dagangan). Dalam sistem ekonomi liberal maupun neoi-liberal – pasar bebas – semua hal dapat dijadikan barang dagangan, dan semua orang berhak untuk berspekulasi. Secara makro nasional, spekulasi tanah berakibat terjadinya peningkatan pengangguran dan sekaligus penurunan produktivitas.
Mengapa terjadi sengketa agraria? Disamping faktor politik, faktor utama lainnya adalah faktor kondisi obyektif berupa terjadinya berbagai ketimpangan, yaitu ketimpangan dalam hal alokasi sumber agraria/tanah; ketimpangan dalam hal sebaran pemilikan, penguasaan dan penggunaan tanah, yang pada gilirannya (di negara agraris) melahirkan ketimpangan-ketimpangan sebaran pendapatan; ketimpangan dalam masalah hukum yang berkaitan dengan tanah (Lihat, a.l. Christodoulou, 1990, seperti dikutip oleh G. Wiradi, 2000).
Atas dasar itu semua, maka diperlukan Reforma Agraria, agar perekonomian negara mempunyai ketahanan dalam menghadapi krisis. Tetapi, apa sebenarnya dampak positif yang diharapkan dari Reforma Agraria? Secara umum, yang diharapkan adalah:
(a) Aspek hukum: akan tercipta kepastian hukum mengenai hak-hak rakyat terutama kaum tani.
(b) Aspek sosial: akan tercipta suatu struktur sosial yang dirasakan lebih adil.
(c) Aspek psikologis: kedua hal tersebut pada gilirannya akan menimbulkan social euphoria dan familly security sehingga para petani termotivasi untuk mengelola usahataninya dengan lebih baik.
(d) Aspek politik: semua itu akhirnya dapat meredam keresahan sehingga gejolak kekerasan dapat terhindari. Terciptalah stabilitas yang genuine, bukan stabilitas semu akibat represi (seperti masa Orde Baru).
(e) Semuanya itu akhirnya bermuara kepada ketahanan ekonomi.
Secara lebih rinci dampaknya terhadap perekonomian masyarakat/nasional, kurang lebih sebagai berikut (Cf. A.T. Mosher, 1976):
(a) Dalam beberapa kasus, memang untuk beberapa tahun produksi pertanian menurun (misalnya, di Taiwan), namun sesudah itu meningkat pesat. Sejumlah besar rakyat desa yang semula tunakisma atau buruh tani lalu menjadi petani pemilik penggarap, mula-mula canggung. Namun dalam jangka panjang mereka malahan berkembang menjadi pengelola usahatani yang rasional dan bertanggung jawab (justru karena bangga atas terjadinya perubahan status).
(b) Anak-anak dari para petani pemilik tanah luas (yang kemudian tanahnya dipotong oleh “Land Reform”) terpaksa tidak lagi bisa menikmati kekayaan orang tuanya yang berasal dari tanah luas itu, dan tidak lagi bisa meneruskan profesi orang tuanya. Namun mereka justru beralih ke profesi lain (melalui pendidikan tinggi, yang biayanya dimungkinkan oleh sisa-sisa kekayaan orang tuanya), dan menjadi tenaga-tenaga ahli yang kompeten. Dalam jangka panjang, hal ini sangat menyumbang bagi perkembangan perekonomian negaranya. (Contoh: Meksiko, nesir, dan negara-negara di sektiar Timur Tengah).
(c) Pemilik/Penguasa tanah luas yang  sebagian tanahnya terpangkas oleh ‘land reform’ itu kemudian mengalihkan investasinya ke luar desa, yang pada gilirannya menopang proses industrialisasi.
Penutup
Demikianlah secara singkat ringkas apa yang dapat saya sajikan. Karena masalah tanah adalah masalah yang melandasi hampir semua aspek kehidupan, maka tentu saja masih banyak sekali hal-hal yang terpaksa belum tercakup dalam uraian tersebut di atas. Walaupun demikian, mudah-mudahan saja isi tulisan ini sedikit atau banyak dapat menambah wawasan bagi mereka yang mungkin sudah memahaminya, dan merangsang perhatian bagi mereka yang sebelumnya tak tersisa di hatinya untuk memperdulikan masalah bangsa yang paling mendasar ini. Terima kasih.
Bahan Acuan

Ghose, A.K. (ed) (1983): Agrarian Reform in Contemporary Developing Countries. London: Croom Helm, Ltd.
King, R. (1977): Land Reform. A World Survey, Boulder, Colorado: Westview Press.
Mosher, A.T., 1976. Thinking About Rural Development. New York: Agricultural Development Council, Inc.
Sobhan, R., 1993. Agrarian Reform and Social Transformation. London and New Jersey: Zed Books.
Prosterman, R.L. and J.M. Reidinger, 1987. Land Reform and Democratic Development, Baltimore and London: The John Hopkins University Press.
Soekarno, 1963. Jalannya Revolusi Kita (Jarek), Pidato Presiden, 17 Agustus 1963.
________________: Dibawah Bendera Revolusi. Jilid I.
Wiradi, Gunawan, 2000. Reforma Agraria : Perjalanan Yang Belum Berakhir, Yogyakarta: Insist Press, KPA dan Pustaka Pelajar.
Wiradi, Gunawan, 2001. “Reforma Agraria: Tuntutan Bagi Pemenuhan Hak-ak Asasi Manusia”. Makalah dalam ‘Konperensi Nasional Petani’, yang diselenggarakan oleh Komnas HAM bekerjasama dengan sejumlah LSM di Cibubur, Jakarta, tanggal 17 – 20 April 2001.

TANAH PARTIKELIR DAN GANTI RUGI TANAH PARTIKELIR

UU NO. 1 TAHUN 1958
PENGHAPUSAN TANAH-TANAH PARTIKELIR


I.    PENGERTIAN TANAH PARTIKELIR:
·         TANAH EIGENDOM DI ATAS NAMA PEMILIKNYA SEBELUM UU INI BERLAKU MEMPUNYAI HAK-HAK PERTUANAN.
HAK-HAK PERTUANAN:
A.     HAK UNTUK MENGANGKAT DAN MEMBERHENTIKAN KEPALA DESA/KAMPUNG
B.     HAK MENUNTUT KERJA PAKSA ATAU MEMUNGUT UANG PENGGANTI KERJA PAKSA DARI PENDUDUK
C.     HAK MEMUNGUT HASIL TANAH DARI PENDUDUK
D.     HAK UNTUK MENDIRIKAN PASAR-PASAR
·         TANAH EIGENDOM YANG LUASNYA LEBIH DARI 10 BOUW YANG MENJADI MILIK SESEORANG ATAU SUATU BADAN HUKUM ATAU MILIK BERSAMA DARI BEBERAPA ORANG ATAU BEBERAPA BADAN HUKUM DIPERLAKUKAN SEBAGAI TANAH PARTIKELIR.
I.       SEJARAH PENGHAPUSAN TANAH-TANAH PARTIKELIR
         -  LUASNYA SAMPAI 1.500.000 HA TERLETAK DI JAWA BARAT
         -  MEMBERIKAN HAK-HAK ISTIMEWA KEPADA PEMILIKNYA (ADANYA NEGARA KECIL DALAM NEGARA)
         -  KEDUDUKAN TUAN-TUAN TANAH YANG LEBIH KUAT DARI MASYARAKAT
         -  SIKAP TUAN-TUAN TANAH YANG BERTENTANGAN DENGAN AZAS KEADILAN SOSIAL
II.           SELAMA PEMERINTAHAN BELANDA MENGADAKAN PEMBELIAN ATAS TANAH-TANAH PARTIKELIR DAN MELARANG GUBERNUR JENDERAL UNTUK MENJUAL TANAH-TANAH YANG LUAS KEPADA PERORANGAN
III.    SELAMA PEMERINTAHAN JEPANG TIDAK TERJADI PEMBELIAN ATAS TANAH-TANAH PARTIKELIR
IV.    PEMERINTAHAN BELANDA KEMBALI MEMBELI TANAH-TANAH PARTIKELIR OLEH KARENA TERDORONG KEADAAN POLITIK DAN PERKEMBANGAN MASYARAKAT WAKTU ITU. TAHUN 1948 DIBENTUK PANITIA UNTUK MELIKWIDASI TANAH-TANAH PARTIKELIR SELUAS 469 HA DI JAWA BARAT
V.     PEMERINTAH INDONESIA PADA TAHUN 1956 MEMBELI TANAH PARTIKELIR SELUAS 11,759 HA
         PEMERINTAH RI MENGALAMI KESULITAN DALAM PEMBELIAN KEMBALI TANAH-TANAH PARTIKELIR DIKARENAKAN:
         -     KESULITAN KEUANGAN
         -     SIKAP TUAN TANAH YANG MEMINTA HARGA TINGGI
         -     PERATURAN YANG TIDAK MENDUKUNG
         KARENA ALASAN-ALASAN TSB MAKA DIKELUARKAN UU NO. 1 TAHUN 1958 TENTANG PENGHAPUSAN TANAH-TANAH PARTIKELIR       
PANITIA KERJA LIKWIDASI TANAH-TANAH PARTIKELIR
( PERMENAG NO. 1 TAHUN 1958)

I.       DAERAH KERJA
         -     JAKARTA RAYA
         -     SEMARANG
         -     SURABAYA
         -     MAKASAR
         -     BOGOR
         -     DLL
II.      ANGGOTA PANITIA KERJA
         -     KEPALA INSPEKSI AGRARIA
         -     PEJABAT PAMONGPRAJA
         -     PEJABAT DARI DEPARTEMEN PERTANIAN
         -     WAKIL DARI PEMDA
III.    TUGAS PANITIA KERJA (SETELAH PENEGASAN)
         -     MENGADAKAN INVENTARISASI
               MISAL       :     BANGUNAN DAN TANAMAN DARI BP
                                       BANGUNAN DAN TANAMAN SERTA HAK-HAK KEPUNYAAN PIHAK KETIGA
         -     MENGUMPULKAN BAHAN-BAHAN YANG BERGUNA BAGI PELAKSANAAN UU NO. 1 TAHUN 1958
               MISAL       :     ANGKA HASIL KOTOR DARI TANAH PARTIKLEIR  TIAP TAHUN (TAHUN 1937 S/D 1941)
-          MENGUSULKAN KPD MENTERI MELALUI INSPEKSI AGRARIA
      MISAL       :     SYARAT-SYARAT YANG HARUS DITENTUKAN DALAM PEMBERIAN HAK MILIK
-     MENGUSULKAN BESAR DAN BENTUK GANTI RUGI YANG AKAN DIBAYARKAN KEPADA BEKAS PEMILIK
PROSEDUR PENETAPAN TANAH PARTIKELIR

I.    PASAL 3 UU NO. 1 TAHUN 1958
      SEJAK DIMULAI BERLAKUNYA UU INI DEMI KEPENTINGAN UMUM BESERTA HAK-HAK PERTUANAN ATAS TANAH-TANAH PARTIKELIR HAPUS DAN SELURUHNYA SERENTAK MENJADI TANAH NEGARA

II.   PENGHAPUSAN TANAH PARTIKELIR DILAKUKAN DENGAN KEPUTUSAN MENTERI AGRARIA (SK. PENEGASAN)
      PP NO. 18 TAHUN 1958 TENTANG PELAKSANAAN UU PENGHAPUSAN TANAH PARTIKELIR
A.     SETELAH DIKENAKAN SEBAGAI TANAH PARTIKELIR SESUAI UU NO. 1 TAHUN 1958 MAKA DENGAN SK. MENTERI AGRARIA TANAH-TANAH TSB DITEGASKAN SATU DEMI SATU MENGENAI:
-     LETAKNYA
-     LUASNYA
-     NAMA BEKAS PEMILIK
      B.   SETELAH DITEGASKAN OLEH MENTERI NEGARA AGRARIA KEPADA BEKAS PEMILIK WAJIB:
            -     MENYERAHKAN SEMUA BUKU-BUKU, PETA-PETA ATAU SURAT-SURAT LAIN KEPADA MENTERI AGRARIA
            -     MEMBERIKAN DAFTAR DARI HAK-HAK PIHAK KETIGA

III. PEMERINTAH MENERBITKAN SK. KESEDIAAN GANTI RUGI BAIK BERUPA UANG ATAU TANAH:
      -     DAPAT DIBERIKAN TANAH APABILA BEKAS PEMILIK BENAR-BENAR MASIH MENGUASAI TANAH TERSEBUT
      -     DAPAT DIBERIKAN UANG JIKA BEKAS PEMILIK TIDAK MENGUASAI TANAH TERSEBUT.

GANTI RUGI TANAH PERTIKELIR


I.    MENURUT UU NO. 1 TAHUN 1958 PASAL 8 MENETAPKAN:
      A.  DAPAT BERUPA UANG DENGAN PERHITUNGAN HASIL KOTOR SETAHUN RATA-RATA SELAMA LIMA TAHUN TERAKHIR SEBELUM TAHUN 1942 DIKURANGI 40% SEBAGAI BIAYA USAHA, KEMUDIAN DIKALIKAN 8½
      B.   HAK BANTUAN ATAU KELELUASAAN LAIN

II.   SURAT KEPUTUSAN DEPUTY MENTERI KEPALA DEPARTEMEN AGRARIA NO. SK.15/DEPAG/1960.
      HAK GANTI RUGI TANAH KEPADA BEKAS PEMILIK
A.     JIKA WNI
-     TANAH PERUMAHAN DENGAN HM
-     TANAH PERTANIAN DENGAN HM
-     TANAH PERKEBUNAN DENGAN HGU (25 HA)
B.     JIKA BADAN HUKUM INDONESIA
-     TANAH PERUMAHAN DENGAN HGB
-     TANAH PERTANIAN DENGAN HGU
-     TANAH PERKEBUNAN DENGAN HGU
C.     JIKA WNA DAN BADAN HUKUM ASING
-     TANAH PERUMAHAN DENGAN HAK PAKAI
-     TANAH PERTANIAN DENGAN HAK PAKAI
-     TANAH PERKEBUNAN DENGAN HAK PAKAI

HAK GANTI RUGI UANG KEPADA BEKAS PEMILIK
JIKA GANTI RUGI DALAM BENTIUK UANG MAKA PERHITUNGANNYA SEBESAR 20% DARI HARGA UMUM ATAS TANAH YANG DAPAT DITERIMANYA DENGAN KETENTUAN HARGA UMUM SEBANYAK-BANYAKNYA Rp. 1.000,- (SERIBU RUPIAH) PER HA.
PERATURAN-PERATURAN YANG MENYANGKUT GANTI RUGI TANAH PARTIKELIR

1.   UU NO. 1 TAHUN 1958
      A.  SEJUMLAH UANG DENGAN PERHITUNGAN HASIL KOTOR SETAHUN RATA-RATA SELAMA 5 TAHUN TERAKHIR SEBELUM 1942 DIKURANGI 40% SEBAGAI BIAYA USAHA DIKALIKAN 8½
      B.   HAK BANTUAN ATAU KELELUASAAN LAIN

2.   SK. DEPUTI MENTERI KEPALA DEPARTEMEN AGRARIA NO. SK. 15/DEPAG/1966
      A.  GANTI RUGI UANG DENGAN PERHITUNGAN 20% DARI HARGA UMUM ATAS TANAH YANG DAPAT DITERIMANYA,  HARGA UMUM SEBANYAK-BANYAKNYA Rp. 1.000,- (SERIBU RUPIAH) PER HA.
      B.   GANTI RUGI TANAH SESUAI TABEL

3.   SE DEPDAGRI Cq. DIRJEN AGRARIA NO. 10/202/10/73 TANGGAL 31-10-1973 MENETAPKAN:  APABILA DR DITETAPKAN PEMERINTAH BERUPA TANAH TETAPI AHLI WARISNYA TIDAK MENGUASAI TANAH TERSEBUT MAKA GR DAPAT DIUBAH DALAM BENTUK UANG DENGAN TIDAK MENGGUNAKAN PEDOMAN SK NO. 15/DEPAG/1966

4.   SK. MENTERI NEGARA AGRARIA/KA. BPN NO. 13 TAHUN 1997 TENTANG PENIADAAN GANTI RUGI TANAH YANG TERKENA UU NO. 1 TAHUN 1958.

5.   SK. MENTERI NEGARA AGRARIA/KA. BPN NO. 12 TAHUN 1999 TANGGAL 10 SEPT 1999 TENTANG PENCABUTAN KEPUTUSAN MENTERI NEGARA AGRARIA/KA. BPN NO. 13 TAHUN 1997.