THOUSANDS OF FREE BLOGGER TEMPLATES

Jumat, 12 Agustus 2011

UUPA, LANDREFORM DAN PERANAN UNTUK KESEJAHTERAAN PETANI


UUPA,  LANDREFORM  DAN  KEBERPIHAKAN  KEPADA PETANI 
Setiap tanggal 24 September ingatan kita akan tertuju pada hari lahirnya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960, yaitu undang-undang yang memuat peraturan dasar agraria secara garis-garis besar dan pokok-pokok (yang lebih dikenal dengan sebutan Undang-Undang Pokok Agraria atau disingkat UUPA).  Meskipun UUPA telah berumur 50 tahun (1960-2010) namun UUPA belum mampu menjawab permasalahan agraria/pertanahan yang ada.
Oleh karena itu tidaklah berlebihan apabila pada peringatan hari ulang tahun UUPA kali ini banyak orang memperbincangkan tentang relevansi pelaksanaan UUPA dalam pembangunan nasional terutama keterkaitan antara permasalahan agraria/pertanahan dengan program pembangunan nasional.  Telah dimengerti bahwa permasalahan agraria/pertanahan saat ini merupakan masalah yang sangat berat dan semakin kompleks.  Meskipun telah ada UUPA yang merupakan induk dari segala peraturan perundang-undangan agraria/pertanahan, akan tetapi dalam kenyataannya UUPA tidak muncul menjadi rujukan dan faktor penentu dalam mengatasi berbagai problem yang timbul di sekitar permasalahan agraria/pertanahan.  Hal ini terutama sekali disebabkan oleh pelaksanaan politik agraria yang sering kali bertentangan dengan makna dan isi yang terkandung dalam UUPA, dan menyimpang dari amanat-amanat luhur UUPA. 
Padahal UUPA merupakan politik agraria negara dan bangsa Indonesia.  Karena itu melaksanakan UUPA adalah menjalankan politik agraria negara dan bangsa.  Negara sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat pada tingkatan tertinggi  diberi  wewenang  untuk  mengelola   pertanahan   bagi   kesejahteraan bangsa Indonesia.  Hal tersebut dimaksudkan agar tanah dapat memberikan manfaat bagi sebesar-besar kemakmuran rakyat dalam arti kebahagiaan, kesejahteraan dan kemerdekaan dalam masyarakat dan negara Indonesia. 
NEGARA  AGRARIS
Sektor pertanian mempunyai peranan yang penting bagi perekonomian negara-negara yang sedang berkembang seperti Indonesia.  Sektor pertanian merupakan motor penggerak kemajuan dan perkembangan ekonomi.  Lebih dari itu dari sektor pertanian juga jumlah surplus ekonomi yang berarti.
Tanah merupakan salah satu sumber daya alam yang sangat penting, bukan saja karena fungsinya sebagai faktor produksi, tetapi juga karena implikasi fungsi sosialnya.  Dari tanahlah proses produksi dalam usaha pertanian dimulai dan dari tanah pula kesejahteraan petani berawal.
Indonesia adalah negara dimana susunan kehidupan rakyatnya, termasuk perekonomiannya, masih bercorak agraris.  Kenyataan menunjukkan bahwa    233 juta penduduk Indonesia mayoritasnya masih hidup atau tergantung dari pertanian.  Jumlah penduduk ini masih akan tumbuh terus dan diproyeksikan akan mencapai 273 juta pada 20 tahun lagi, maka luas lahan pertanian dan hasil produksi pangan perlu disesuaikan dengan kebutuhan penduduk tersebut.
Sejalan dengan pertambahan penduduk yang berkembang dengan pesat, sebagian besar dari penduduk ini akan ditampung dalam sektor pertanian.  Akibatnya di Indonesia dapat dilihat adanya sejumlah masalah dalam sektor pertanian seperti tingkat penguasaan atau pemilikan tanah dan distribusi pemilikan tanah. 
Masalah pemilikan tanah pertanian, terutama dalam hubungan antara petani pemilik tanah dengan penggarap tanah, merupakan masalah pertanahan strategis yang dihadapi oleh pemerintah saat ini.  Kenyataan menunjukkan bahwa pada satu pihak sebagian besar tanah dipunyai oleh beberapa orang saja (tuan-tuan tanah), sementara di lain pihak dijumpai adanya bagian-bagian tanah pertanian yang kecil yang dipunyai oleh sebagian besar orang (petani gurem).  Penguasaan tanah sempit oleh petani gurem (penguasaan tanah kurang dari 0,5 Ha) adalah sebesar 56,5 %  (Sumber data : BPS, 2006).
Apabila ditinjau kembali perkembangan sistem penguasaan dan pemilikan tanah dari zaman Hindia Belanda sampai dengan saat ini,  maka tidak dapat diragukan lagi bahwa kapitalisme dan feodalisme yang diwarisi oleh Hukum Kolonial Belanda masih mempengaruhi tingkah laku para tuan tanah pada saat ini dalam hubungan mereka dengan tanah yang dikuasai.  Kebanyakan dari mereka mempunyai tendensi untuk menguasai tanah yang luas dengan mempergunakan modal besar dan memperkerjakan penggarap tanah secara kurang wajar.


AMANAT  KONSTITUSI
Landasan kebijakan politik agraria di Indonesia adalah UUD 1945 Pasal 33 Ayat (3) dan UUPA.  UUD 1945 pasal 33 ayat (3) menegaskan bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. 
UUPA, dalam rangka melaksanakan amanat konstitusi UUD 1945 pasal 33 ayat (3), merupakan dasar kebijakan mengatur penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan sumber daya alam.
Dalam UUPA terdapat 4 (empat) pasal yang mengatur tentang kebijakan penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan sumber daya alam terutama tanah, yaitu : 1) pasal 7, Untuk tidak merugikan kepentingan umum maka pemilikan dan penguasaan tanah yang melampaui batas tidak diperkenankan;  2) pasal 10, Setiap orang dan badan hukum yang mempunyai sesuatu hak atas tanah pertanian pada azasnya diwajibkan mengerjakan atau mengusahakannya sendiri secara aktif, dengan mencegah cara-cara pemerasan; 3) pasal 13, Pemerintah berusaha agar supaya usaha-usaha dalam lapangan agraria diatur sedemikian rupa, sehingga meninggikan produksi dan kemakmuran rakyat sebagai yang dimaksud dalam pasal 2 ayat 3 serta menjamin  bagi  setiap  Warga  Negara  Indonesia  derajat   hidup   yang   sesuai dengan martabat manusia, baik bagi diri sendiri maupun keluarganya;  4) pasal 17, Dengan mengingat ketentuan pasal 7 maka untuk mencapai tujuan yang dimaksud dalam pasal 2 ayat 3 diatur luas maksimum dan/atau minimum tanah yang boleh dipunyai dengan sesuatu hak tersebut dalam pasal 16 oleh satu keluarga atau badan hukum. 
PROGRAM  LANDREFORM
Landreform diartikan sebagai perombakan mengenai penguasaan dan pemilikan tanah serta hubungan-hubungan hukum yang bersangkutan dengan penguasaan tanah.  Untuk melaksanakan Landreform pemerintah harus merealisasikan ketentuan-ketentuan pasal 7, 10, 13 dan 17 yang terkandung dalam UUPA.  Salah satu program yang digalakkan oleh pemerintah dalam rangka program Landreform adalah Redistribusi Tanah. 
Redistribusi Tanah adalah kegiatan pemberian hak atas tanah yang berasal dari Tanah Obyek Landreform kepada para petani/penggarap yang memenuhi persyaratan sesuai dengan pasal 8 dan pasal 9 Peraturan Pemerintah Nomor 224 Tahun 1961 tentang Pelaksanaan Pembagian Tanah dan Pemberian Ganti Kerugian.
Redistribusi Tanah merupakan suatu program pembagian tanah pertanian yang adil dan merata atas sumber penghidupan petani (berupa tanah) tanpa menimbulkan perbedaan pemilikan tanah yang besar.  Redistribusi tanah mengarah ke program pemerintah untuk menyediakan tanah bagi para penggarap.
Secara sosial ekonomis program redistribusi tanah diharapkan mampu memperbaiki keadaan sosial ekonomi rakyat (khususnya petani) dengan memperkuat hak milik melalui sertipikasi.  Kegiatan sertipikasi ini lebih lanjut dikenal sebagai kegiatan Asset Reform
  
KEBERPIHAKAN  KEPADA  PETANI
Sejak tahun 2007 Pemerintah, dalam hal ini Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia, secara gencar telah melaksanakan program Landreform yang lebih  berpihak  kepada  petani/penggarap.   Pelaksanaan  landreform  tidak
hanya sekedar kegiatan Asset Reform yang berupa sertipikasi, tetapi juga dibarengi dengan kegiatan Access Reform yang berupa pembinaan dan fasilitasi pasca Redistribusi Tanah.
Access Reform adalah suatu proses penyediaan akses/sarana bagi masyarakat (subyek penerima redistribusi tanah) terhadap segala hal yang memungkinkan mereka untuk mengembangkan tanah pertanian sebagai sumber kehidupan petani (partisipasi ekonomi-politik, modal, pasar, teknologi, pendampingan, peningkatan kapasitas dan kemampuan).
Access Reform dilakukan oleh instansi-instansi penyedia akses/sarana kepada petani penerima redistribusi tanah yang tergabung dalam kelompok tani dengan bantuan fasilitasi dari Badan Pertanahan Nasional.  Dalam hal ini Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota bertindak sebagai fasilitator.
Access Reform dilakukan dengan menggandeng pihak ketiga seperti Bank atau lembaga keuangan dan dinas-dinas teknis terkait lainnya.  Pihak Bank seperti BRI dapat digandeng untuk penyediaan akses permodalan kepada petani penerima redistribusi tanah melalui penyaluran kredit usaha tani dengan agunan sertipikat hak atas tanah yang bersangkutan.
Dinas Pertanian dan Perkebunan digandeng untuk penyediaan sarana produksi (seperti bibit unggul, pupuk, obat-obatan hama dan penyakit tanaman) bagi kelangsungan kegiatan usaha tani petani penerima redistribusi tanah.  Juga penyediaan teknologi pengolahan pasca panen bagi produk pertanian yang dihasilkan sehingga dapat memberikan nilai tambah bagi petani.  Sementara Dinas Koperasi dan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah berperan dalam peningkatan ketrampilan dan kemampuan ibu-ibu rumah tangga petani melalui kegiatan pendidikan dan pelatihan usaha kecil dan menengah (industri rumah tangga).
Access Reform atau penyediaan akses/sarana ini dikembangkan berdasarkan potensi-potensi yang ada pada masing-masing daerah.  Tidak semua daerah akan mendapatkan akses/sarana yang sama.
Access Reform diwujudkan dalam tindakan nyata, bukan sekedar wacana atau arahan.  Oleh karena itu demi keberhasilan kegiatan dimaksud diperlukan urutan pelaksanaan kegiatan yang dimulai dari penggalian potensi daerah, rapat koordinasi antara kelompok tani, instansi terkait dan Badan Pertanahan Nasional (Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota), penyuluhan sampai penandatanganan MOU atau Surat Perjanjian Kerjasama.  Indikator keberhasilan kegiatan Access Reform adalah terbitnya MOU atau Surat Perjanjian Kerjasama antara kelompok tani dengan instansi terkait selaku penyedia akses/sarana.

http://htmlimg3.scribdassets.com/dxb413lnaufovwg/images/1-d7f18425dd/000.jpg
LANDREFORM: SEJARAH DARI MASA KE MASA1
A.
PENDAHULUAN
Ketimpangan pemilikan dan penguasaan tanah di Indonesia—sebagaimana halnya ketimpangan ekonomi/tingkat pendapatan penduduknya—adalah sangat tajam dan ironis. Di satu sisi banyak orang kaya yang memiliki tanah secaraabsentee2 dan menjadikannya sebagai asset atau investasi, tetapi di sisi lain lebih banyak petani yang hanya mempunyai sebidang tanah yang tidak cukup untuk menghidupi keluarganya atau bahkan tidak mempunyai satu meter pun tanah untuk digarapnya.
Dengan tujuan pemerataan dan untuk mencapai keadilan dalam perolehan dan pemanfaatan tanah maka programlandreform yang telah lama dipeti-eskan (hanya menjadi program/kebijakan tehnis saja) haruslah digiatkan kembali. Guna mengetahui perkembangan darilandreform ini, penulisan ini akan membahas aspek historis yaitu pengaturan dan pelaksanaanlandreform dari masing-masing Orde.
B.
LANDREFORM
1. Sejarah dan Arti Penting UUPA
Salah satu hasil karya anak bangsa terbaik, paling monumental, sekaligus revolusioner, yakni Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria yang selanjutnya disebut Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) merupakan Undang-Undang
1 Disusun oleh Lilis Nur Faizah, sebagai tugas Mata Kuliah Vak KhususLa nd refo rm, pada FH UGM,
2007, dengan judul yang sama, diajukan kepada Bapak Nurhasan Ismail.
2 Sejauh ini data tentang pemilikan tanah secaraab sen tee sangatlah sulit didapatkan. Biasanya tanah
absentee ini didapatkan dengan cara memberi kuasa penuh kepada orang lain. Dan ini termasuk penggelapan
hukum.
1
yang pertama kalinya memperkenalkan konsep Hak Menguasai Negara3. Perumusan pasal 33
dalam UUD 1945: “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai
oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat4”. Inilah dasar
konstitusional pembentukan dan perumusan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA). Dua hal pokok dari pasal ini adalah sejak awal telah diterima bahwa Negara ikut campur untuk mengatur sumber daya alam sebagai alat produksi, dan pengaturan tersebut adalah dalam rangka untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Penghubungan keduanya bersifat saling berkait sehingga penerapan yang satu tidak mengabaikan yang lain.
Setelah proses pembahasan RUUPA yang berlangsung beberapa lama, Mr. Sadjarwo sebagai Menteri Agraria saat itu mengucapkan pidato pengantarnya. Dikatakan dengan jelas bahwa5:
“...perjuangan perombakan hukum agraria nasional berjalan erat dengan sejarah perjuangan bangsa Indonesia untuk melepaskan diri dari cengkraman, pengaruh, dan sisa-sisa penjajahan; khususnya perjuangan rakyat tani untuk membebaskan diri dari kekangan- kekangan sistem feodal atas tanah dan pemerasan kaum modal asing...”.
Semangat untuk mengisistelsel negara baru pasca kemerdekaan ini dipengaruhi oleh dinamika dari pelbagai ideologi dan kekuatan sosial-politik yang memberi sumbangan dalam pergerakan anti kolonialisme6. Soetandyo Wignjosoebroto menyatakan7:
3 Sebenarnya pasal 33 UUD 1945 telah lebih dulu memperkenalkan “…dikuasai oleh Negara…”. Secara
gramatikal, kata dikuasai termasuk kata kerja bentuk pasif. Berbeda dengan kata menguasai dalam HMN, yang
merupakan kata kerja aktif.
4 Republik Indonesia, Undang-Undang Dasar Tahun 1945, Pasal 33 ayat (3) naskah asli, dan tidak
mengalami perubahan hingga Amandemen IV.
5 Pidato Pengantar Menteri Agraria dalam Sidang DPR-GR, 12 September 1960 oleh Mr. Sadjarwo.
Dalam Risalah Pembentukan UUPA dan Boedi Harsono, 1999, Hukum Agraria Indonesia: Sejarah Pembentukan
Undang-Undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, edisi revisi, Djambatan, Jakarta, hal. 585.
6 Menurut Soetandyo Wignyosoebroto, keterbatasan kesadaran elite terdidik (sekolahan maupun
otodidak) dan manajemen kekuasaan negara merupakan faktor terpenting dalam pasang-surut dari mobilisasi dan peran rakyat dalam perumusan kebijakan Negara baru tersebut. Ketiadaan ahli hukum dari luar Jawa-Sumatera (Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara, apalagi Irian dan sebagainya), membuat ide-ide yang tercetus oleh ahli-ahli hukum tersebut banyak dipengaruhi oleh gagasan “Barat” sebagaimana didapatkan di sekolah-sekolah, dan pengalaman Jawa-Sumatera. Lihat Soetandyo Wignyosoebroto, 1994, Dari Hukum Kolonial ke Hukum Nasional:
Dinamika Sosio-Politik Perkembangan Hukum di Indonesia, Jakarta, Rajawali Press, hal. 159.
2
http://htmlimg2.scribdassets.com/dxb413lnaufovwg/images/3-e38774d4b2/000.jpg
“...yang sangat dipentingkan pada saat itu memang bukan resultat-resultat hukum perundang-undangan yang dibuat. Dalam suasana Demokrasi Terpimpin yang hendak lebih ditegaskan dan diungkapkan pada waktu itu adalah kerevolusineran tekad untuk menolak pikiran-pikiran yang berasal dari negeri-negeri liberal kapitalis yang dituduh akan meracuni jiwa bangsa...”.
Semangat menentang strategi kapitalisme dan kolonialisme yang telah menyebabkan terjadinya “penghisapan manusia atas manusia” (exploitation de l’homme par l’homme) di satu sisi; dan sekaligus menentang strategi sosialisme yang dianggap “meniadakan hak-hak individual atas tanah” di sisi lain menjadi landasan ideologis dan filosofis pembentukan UUPA.
Dalam Penjelasan Umumnya, dinyatakan dengan jelas bahwa tujuan diberlakukannya
UUPA adalah8:
a. Meletakkan dasar-dasar bagi penyusunan hukum agraria nasional yang akan merupakan alat untuk membawa kemakmuran, kebahagiaan dan keadilan bagi negara dan rakyat tani, dalam rangka masyarakat yang adil dan makmur;
b. Meletakkan dasar-dasar untuk mengadakan kesatuan dan kesederhanaan dalam hukum
pertanahan;
c. Meletakkan dasar-dasar untuk memberikan kepastian hukum mengenai hak-hak atas
tanah bagi rakyat seluruhnya.
Hal penting lainnya adalah bahwa UUPA sebenarnya tidak lepas dari kontekslandreform yang menjadi agenda pokok pembentukan struktur agraria saat itu. Paket peraturan perundang- undanganlandreform ini telah dimulai dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1960 tentang Perjanjian Bagi Hasil yang dikeluarkan untuk mengawasi adat tentang praktek bagi hasil9. Ini
7Ib id., hal. 213.
8 Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Ketentuan Dasar Pokok-Pokok
Agraria (UUPA), Penjelasan Umum Angka I.
9 Praktek bagi hasil sudah lama dikenal di Jawa. Ini didukung oleh sifat melindungi secara komunal serta
sifat menyerap tenaga kerja dari sistem sosio-ekonomi pedesaan. Tetapi dalam perkembangannya, semakin
3
http://htmlimg1.scribdassets.com/dxb413lnaufovwg/images/4-e9a34683f3/000.jpg
http://htmlimg1.scribdassets.com/dxb413lnaufovwg/images/4-e9a34683f3/000.jpg
bertujuan menegakkan keadilan dalam hubungan pemilik tanah yang tidak dapat mengerjakan tanahnya sendiri, dengan penggarap. Perlindungan ini terutama ditujukan kepada penggarap yang umumnya secara ekonomis lebih lemah sekaligus memacunya untuk menambah produksi10. Demikian juga Undang-Undang Nomor 56 Prp Tahun 1960 tentang redistribusi tanah pertanian.
Salah satu konsepsi terpenting dalam UUPA yang kemudian mendasari berbagai peraturan lainnya adalah Hak Menguasai Negara dan fungsi sosial hak atas tanah. Berikut ini diuraikan secara umum tentang kedua asas terpenting ini.
Hak Menguasai Negara
Ini dirumuskan untuk pertama kalinya secara formal dalam UUPA 1960 dengan memberi
wewenang kepada Negara untuk11:
(a) mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan
bumi, air dan ruang angkasa;
(b) menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi,
air dan ruang angkasa;
banyaknya tuan tanah dan timpangnya penguasaan dan pemilikan atas tanah menimbulkan perbandingan bagi hasil yang mengkhawatirkan. Lihat, Justus M. van der Kroef, “Penguasaan Tanah dan Struktur Sosial di Pedesaan Jawa,” diterjemahkan dari “Land Tenure and Social Structure in Rural Java,” Approaches to Community Development, volume 25, Bab IX, 1960, dalam Sediono MP Tjondronegoro&Gunawan Wiradi, Op. Cit., hal. 156-157. Terdapat juga pendapat yang mengatakan bahwa sistem bagi hasil ini merupakan praktek adat yang dipengaruhi oleh feodalisme dan karenanya termasuk hukum adat yangd isa n e er. Inilah satu alasan yang menyebabkan UU Bagi Hasil kemudian tidak diterapkan pada masa Orde Baru. Padahal menurut penelitian yang dilakukan oleh Bernard L. Tanya, terdapat juga praktek bagi hasil dalam masyarakat hukum adat di Pulau Sabu, Nusa Tenggara Timur dimana besaran bagi hasil justru ditentukan oleh penggarap dengan alasan telah mengeluarkan tenaga dan biaya untuk benih, sehingga pemilik disini hanya mendapat 10% dari hasil panen. Ini dipengaruhi juga oleh nilai adat “saling memangku adat,” bahwa hubungan bapak (pemilik) dan anak (penggarap) ladang dan sawah tadah hujan tidak boleh saling merugikan. Rikardo Simarmata, 2006, Pengakuan Hukum terhadap Masyarakat Adat di Indonesia, UNDP Regional Centre in Bangkok, hal. 62 (footnote).
10 Sediono MP Tjondronegoro&Gunawan Wiradi, Loc. Cit.
11 Republik Indonesia, Undang Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok
Agraria, Pasal 2 UUPA. Menurut beberapa tokoh, paham ini dipengaruhi paham Negara integralistik yang berkembang saat itu dan didukung terutama oleh Soekarno dan Supomo. Kesatuan antara masyarakat dan Negara dimana kepentingan individu dan kelompok larut dalam kepentingan Negara (mirip dengan konsep Rousseau tentang masyarakat organis) sehingga tidak terjadi pertentangan hak dan kepentingan warga masyarakat dan Negara. Individu ditempatkan di bawah nilai masyarakat sebagai keseluruhan. Lihat Frans Magnis Suseno, 1993,
Filsafat sebagai Ilmu Kritis, Kanisius, Yogyakarta, hal. 94-96.
4
http://htmlimg3.scribdassets.com/dxb413lnaufovwg/images/5-cf02928b67/000.jpg
(c) menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan
perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa.
Kewenangan HMN tersebut dipahami dalam kerangka hubungan antara negara dengan bumi, air dan kekayaan alam di dalamnya sebagai hubungan penguasaan, bukan hubungan pemilikan seperti di negara Barat maupun di negara –negara komunis. Negara dalam hal ini sebagai Badan Penguasa yang pada tingkatan tertinggi berwenang mengatur pemanfaatan tanah dalam arti luas serta menentukan dan mengatur hubungan hukum dan perbuatan hukum berkenaan
dengan
tanah.
Sebagai
penerima
kuasa,
maka
negara
harus mempertanggungjawabkannya kepada masyarakat sebagai pemberi kuasa12. Dengan ini AP. Parlindungan menyebutnya sebagai hak rakyat pada tingkat Negara13.
Prof. Maria SW Sumardjono mengatakan bahwa kewenangan negara ini harus dibatasi dua hal:pertama, oleh UUD 1945. Bahwa hal-hal yang diatur oleh negara tidak boleh berakibat pelanggaran hak asasi manusia yang dijamin oleh UUD 1945. Peraturan yang bias terhadap suatu kepentingan dan menimbulkan kerugian di pihak lain adalah salah satu bentuk pelanggaran tersebut. Seseorang yang melepas haknya harus mendapat perlindungan hukum dan penghargaan yang adil atas pengorbanan tersebut.Kedua, pembatasan yang bersifat substantif dalam arti peraturan yang dibuat oleh negara harus relevan dengan tujuan yang hendak dicapai yaitu untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Dan kewenangan ini tidak dapat didelegasikan kepada pihak swasta karena menyangkut kesejahteraan umum yang sarat dengan misi pelayanan. Pendelegasian kepada swasta yang merupakan bagian dari masyarakat akan menimbulkan konflik kepentingan, dan karenanya tidak dimungkinkan14.
12 Maria SW Sumardjono, 1998, Kewenangan Negara untuk Mengatur dalam Konsep Penguasaan Tanah
oleh Negara, dalam Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar pada Fakultas Hukum UGM, tanggal 14 Februari 1998
di Yogyakarta.
13 AP. Parlindungan, 1991, Komentar atas Undang-Undang Pokok Agraria, Mandar Maju, Bandung, hal.
40.
14Ibid. Dua pembatasan tersebut menjadi penting mengingat HMN merupakan suatu konsepsi pokok
dalam UUPA yang kemudian dijadikan sumber dari Undang-Undang atau pun regulasi lainnya yang dirumuskan
5
Fungsi Sosial Hak atas Tanah
Dianutnya prinsip fungsi sosial dalam UUPA tidak lepas dari kontekslandreform yang menjadi agenda pokok saat itu. Agar tidak terjadi akumulasi dan monopoli tanah oleh segelintir orang, dimasukkan unsur masyarakat atau kebersamaan dalam penggunaannya. Sehingga dalam hak individu ada hak kebersamaan. Negara berwenang membatasi individu maupun badan hukum dalam penguasaan tanah dalam jumlah besar, karena itu lahirlah peraturanlandreform. Pengaturan batas pemilikan atas tanah oleh perseorangan dilakukan sehingga pemilikan itu hanya dihubungkan dengan usaha mencari nafkah dan penghidupan yang layak, atau hanya digunakan untuk pemukiman, pertanian dan perindustrian rumah.
2. Tinjauan Historis Landreform
a. ORDE LAMA
Sebagaimana disebut sebelumnya, peraturan mengenai redistribusi tanah telah diawali dengan Undang-Undang Nomor 56 Prp Tahun 1960 tentang redistribusi tanah pertanian. Secara historis, Orde Lama telah menempatkanlandreform sebagai kebijakan revolusioner dalam pembangunan semestanya. Bahwa syarat pokok untuk pembangunan tata perekonomian adalah antara lain pembebasan berjuta-juta kaum tani dan rakyat pada umumnya dari pengaruh kolonialisme, imperialisme, feodalisme dan kapitalisme dengan melaksanakanlandreform menurut ketentuan hukum nasional Indonesia, seraya meletakkan dasar-dasar bagi industrialisasi, terutama industri dasar dan industri berat yang harus diusahakan dan dikuasai negara. TAP MPRS RI Nomor II/MPRS/1960 dan Manifesto Politik menyebut tiga landasan filosofis pembangunan pada masa ini yaitu: anti penghisapan atas manusia oleh manusia (Iâ
kemudian berdasar perkembangan dan kebutuhan masyarakat. Sebagai contoh, pembatasan Konstitusi. Dengan semakin kuatnya pengakuan Konstitusi pasca Amandemen terhadap hak asasi manusia, maka pengaturan tentang pengambilalihan hak milik atas tanah harus benar-benar memperhatikan asas ini.
6
http://htmlimg1.scribdassets.com/dxb413lnaufovwg/images/7-6c431c7338/000.jpg
exploitation de Iâ homme per Iâ homme); kemandirian ekonomi; dan anti kolonialisme,
imperialisme, feodalisme dan kapitalisme denganlandreform sebagai agenda pokoknya.
Demikian juga dari jumlah Peraturan Perundang-Undangan bidang Hukum Pertanahan Periode 1960-1966, sebagian besar dari keseluruhan peraturan perundang-undangan yang diterbitkan pada masa ini adalah tentanglandreform dan pengurusan hak atas tanah15. Tampak jelas bahwa era pemerintahan ini meletakkan isu agraria sebagai pokok bidang yang harus segera diprioritaskan.Landreform sebagai bagian mutlak daripada revolusi Indonesia adalah basis pembangunan semesta yang berdasarkan prinsip bahwa tanah sebagai alat produksi tidak boleh dijadikan sebagai alat penghisapan.
Menurut Utrecht,landreform merupakan strategi politik agraria yang dilatarbelakangi oleh perseteruan beberapa kepentingan, terutama kepentingan para petani tak bertanah melawan kepentingan para tuan tanah16. Kepentingan dari dua golongan ini muncul pula di tingkat elite kenegaraan, dimana terbentuk tiga golongan yaitu golongan radikal yang mengusulkan pembagian tanah berdasar prinsip “tanah bagi mereka yang benar-benar menggarapnya”. Sedangkan mereka yang memiliki tanah luas adalah telah melakukan penghisapan terhadap manusia lainnya. Golongan ini terdiri dari PKI, PNI dan Partai Murba. Golongan kedua adalah golongan konservatif yang terdiri dari Partai-partai Islam dan sebagian PNI. Inti dari pendapat golongan ini adalah penolakan dilakukannya pembatasan atas luas pemilikan tanah dan tuduhan pemilikan tanah luas sebagai penghisapan. Sedangkan golongan ketiga adalah golongan yang kompromis terhadap kedua golongan lainnya. Mereka menerima pendapat golongan radikal
15 Perinciannya adalah sebagai berikut: Land Reform terdiri dari 4 Undang-Undang, 2 Peraturan
Pemerintah, 3 Keputusan Presiden, 10 Peraturan Menteri, 12 Keputusan Menteri, 9 Surat Edaran Menteri (40 peraturan); dan tentang Pengurusan Hak Tanah terdiri dari 1 Undang-Undang, 3 Peraturan Pemerintah, 2 Keputusan Presiden, 1 Instruksi Presiden, 4 Peraturan Menteri, 10 Keputusan Menteri, 7 Surat Edaran Menteri (28 peraturan), dari keseluruhan yang berjumlah 92 peraturan. Lihat dalam Nurhasan Ismail, 2006, Perkembangan Hukum
Pertanahan Indonesia: Suatu Pendekatan Ekonomi-Politik, Disertasi pada Program Doktor Ilmu Hukum
Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, hal. 185.
16Noer Fauzi, 1999, Petani&Penguasa: Dinamika Perjalanan Politik Agraria di Indonesia, kerjasama
Insist Press, KPA dan Pustaka Pelajar, Yogyakarta, hal. 141.
7

http://htmlimg4.scribdassets.com/dxb413lnaufovwg/images/8-39dff4b4e0/000.jpg
tetapi dengan penerapan yang bertahap. Dalam golongan inilah Soekarno dan Sadjarwo (Menteri
Agraria) sebagai dua tokoh penting dalam perumusan UUPA menjadi anggotanya17.
Pelaksanaan program ini ditandai dengan program pendaftaran tanah berdasar Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961, untuk mengetahui dan memberi kepastian hukum tentang pemilikan dan penguasaan tanah. Kemudian penentuan tanah-tanah berlebih (melebihi batas maksimum pemilikan) yang selanjutnya dibagi-bagikan kepada sebanyak mungkin petani tidak bertanah. Termasuk juga pelaksanaan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1960 tentang Perjanjian Bagi Hasil.
Tetapi ketiga program tersebut mengalami hambatan sebagaimana dikatakan oleh Sadjarwo bahwa kelemahan administrasi yang tidak sempurna yang menyulitkan redistribusi tanah; dan kurangnya dukungan baik itu dari rakyat, organisasi petani, organisasi politik, tokoh- tokoh dan panitialandreform sendiri. Hal ini kemudian menyebabknan terjadinya aksi sepihak, baik itu oleh petani yang lapar tanah maupun tuan tanah18. Akibat banyaknya aksi sepihak ini, dikeluarkanlah Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1964 tentang PengadilanLandreform.
Sehingga dapat dikatakan bahwa programlandreform sebagai awalan pelaksanaan tujuan
tersebut, pada penerapannya mengalami kegagalan19. Hal itu karena20:
1. Kelambanan praktek-praktek pemerintah dalam pelaksanaan Hak Menguasai Negara;
2. Tuntutan organisasi dan massa petani yang ingin meredistribusikan tanah secara segera
sehingga kemudian timbul aksi sepihak;
3. Unsur-unsur antilandreform yang melakukan berbagai mobilisasi kekuatan tanding dan
siasat mengelak dari dan untuk menggagalkanlandreform;
17Ib id.
18
Noer Fauzi, Op. Cit., hal. 143-144.
19
Terjadinya aksi sepihak, baik itu dalam arti aksi sepihak yang dilakukan oleh petani (di bawah naungan
BTI) maupun oleh tuan tanah karena keduanya sama-sama tidak memperhatikan prosedur normalla n d re fo r m.
20 Noer Fauzi, Op. Cit., hal. 124.
8

http://htmlimg3.scribdassets.com/dxb413lnaufovwg/images/9-a00c9edcd0/000.jpg
4. Terlibatnya unsur kekerasan antara kedua pihak yaitu yang pro dan kontralandreform. Konflik ini bahkan memuncak dan menimbulkan konflik yang lebih besar di dalam konflik elite politik yang berujung pada peristiwa Gerakan 30 September 1965 dan jatuhnya rezim Orde Lama.
Akan halnya hasil dari programlandreform masa ini—menurut Utrecht—adalah diredistribusikannya sekitar 450.000 hektar21, yaitu sejak program ini dicanangkan pertama kalinya hingga akhir tahun 1964. Perinciannya adalah tahap I sejumlah 296.566 hektar dan tahap II sejumlah 152.502 hektar karena tahap II ini belum selesai. Pembagian ini terutama baru dilaksanakan di Pulau Jawa, Madura, Bali dan Nusa Tenggara. Sedangkan tanah kelebihan yang telah ditentukan adalah 337.445 hektar.
b. ORDE BARU
Berbeda dengan Orde Lama, pemerintahan Soeharto ini memfokuskan pembangunan pada pertumbuhan ekonomi, dan memulai kebijakan pembangunan ekonominya dengan mengeluarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing untuk menarik investasi asing dalam pengelolaan sumber daya alam. Terjadi denasionalisasi (privatisasi) perusahaan asing pada tahun 1967 yang sebelumnya telah dinasionalisasi oleh pemerintahan Soekarno pada tahun 1958. Hal ini dengan alasan kondisi perekonomian yang kritis dan defisit sebagai peninggalan Orde Lama. Bahkan sebelumnya dilakukan negosiasi penjadwalan ulang atas utang-utang luar negeri sekaligus mengajukan pinjaman-pinjaman baru22.
Stigma “PKI” atau subversif sering dicapkan kepada orang-orang atau organisasi-
organisasi yang tidak se-ide dengan rezim ini sehingga terjadi pembekuan gerakan-gerakan
21Ib id., hal. 147.
22 Rikardo Simarmata, Op. Cit., hal. 64-65.
9

revolusioner. Sebagaimanalandreform yang merupakan salah satu kebijakan Orde Lama yang populis, dianggap sebagai produk PKI sehingga dihentikan secara total. Bahkan perebutan kembali tanah-tanah yang semula dientukan sebagai tanah kelebihan—dan karenanya menjadi objek redistribusi tanah—dilakukan oleh sejumlah tuan tanah.
Kebijakan landreform pada masa ini hanya sebagai masalah tehnis, atau sebagai program rutin birokrasi pembangunan. Rezim ini menghapus peraturan perundang-undangan yang menjadi pokoklandreform, terutama dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1970 yang menghapus Undang-Undang tentang PengadilanLandreform dan Undang-Undang Perjanjian Bagi Hasil yang secara sosiologis tidak diberlakukan pada era ini.
Konsepsi hukum agraria Orde Lama yang cenderung populis sebagaimana dalam UUPA, diganti dengan konsepsi yang berorientasi pada pembangunan ekonomi.Landreform yang menjadi program pokok Orde Lama dalam pemerataan tanah untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat menjadi terabaikan. Kebijakan pertanahan Orde Baru lebih ditujukan pada pemusatan penguasaan atas tanah dan pembangunan ekonomi yaitu dengan peningkatan produksi pertanian sehingga tercapai swasembada pangan (melalui Revolusi Hijau) dan bahkan ekspor hasil pertanian ke sejumlah negara lain.
Dari data yang diperoleh pada Sensus Pertanian yang dilakukan tahun 1993, didapatkan data penguasaan tanah pertanian sebagai berikut: (1) 22, 41% dari 19.713.806 rumah tangga tani hanya menguasai tanah seluas 0,25 sampai 0,49 hektar lahan pertanian; (2) 48,61% memguasai lahan lebih dari 0,5 hektar. Tetapi terdapat perincian yang menunjukkan ketimpangan yang tajam dalam penguasaan dan pemilikan tanah pertanian tersebut, yaitu: (1) 8.726.343 atau 48,54% dari keseluruhan rumah tangga tani hanya menguasai 13,6% dari keseluruhan lahan pertanian; (2) 217.720 atau 1,21% dari keseluruhan rumah tangga tani menguasai 1.457.477,46 hektar atau 9,44% dari keseluruhan lahan pertanian yang ada. Dari data tersebut, berarti kelompok pertama hanya menguasai lahan pertanian rata-rata seluas 0,24 hektar, sedangkan
10

kelompok kedua rata-rata penguasaannya adalah sekitar 22,174 hektar23. Data tersebut menunjukkan ketimpangan penguasaan tanah pada rezim ini yang didominasi oleh para pemilik modal. Demikian juga dalam hal penguasaan akan hutan dan sumber daya agraria lainnya.
Selain itu, dalam hal pendaftaran tanah, rezim ini juga kemudian mengganti Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 menjadi Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, yang dinilai banyak pihak merupakan agenda Bank Dunia dan lembaga keuangan internasional lainnya di Indonesia. Berbeda dengan produk Orde Lama yang bertujuan untuk kepentingan penataan penguasaan tanah melalui landreform, produk hukum Orde Baru tentang pendaftaran tanah ini adalah demi yang disebut kepastian hukum dari pemilikan hak atas tanah melalui sertifikat.
Perbedaan lainnya adalah jika UUPA dan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 lebih mendasarkan pada pendaftaran tanah dengan stelsel negatif. Bahwa apa-apa yang terdaftar tidak secara otomatis dan mutlak menjamin kebenaran akan pemilikan tanah. Sebaliknya dalam stelsel positif, apa-apa yang terdaftar merefleksikan keadaan yang sebenarnya. Dalam stelsel negatif, orang yang sebenarnya berhak atas tanah dapat mengajukan gugatan pada pengadilan atas tanah miliknya meskipun tanah tersebut telah didaftarkan sebagai hak orang lain. Dalam peraturan yang baru disebutkan bahwa masih digunakan stelsel negatif sesuai dengan UUPA. Tapi diakomodir juga stelsel positif, yang diimbangi dengan upaya untuk meningkatkan kebenaran dari data yang terdaftar itu.
Ketika ini dikaitkan dengan LAP (Proyek Administrasi Pertanahan) yang mengatakan:
...permasalahan tanah selama ini terletak pada sistem administrasi yang pluralistik yang
dimiliki masyarakat adat... terlihat bahwa peraturan ini bertujuan untuk
menciptakan
homogenitas administrasi pertanahan akan memudahkan kepentingan bisnis untuk memperoleh
23 Biro Pusat Statistik 1993.
11
http://htmlimg3.scribdassets.com/dxb413lnaufovwg/images/12-e275dd1300/000.jpg
tanah yang selama ini dimiliki masyarakat adat secara komunal. Dan inilah yang kemudian
dinilai banyak pihak semakin mengeliminir keberadaan tanah ulayat.
Hasil redistribusi tanah yang didapat pada Juni 1998 adalah dari 1.397.167 hektar yang menjadi objek landreform, baru diredistribusikan sejumlah 787.931 hektar (56,4%) yang diterima oleh sejumlah 1.267.961 rumah tangga tani24.
c. ORDE REFORMASI
Seiring dengan perubahan konstelasi politik, alam demokrasi yang semakin menguat, dan dilaksanakannya sistem desentralisasi, maka semangat pembaruan agraria juga menggema dan kemudian melahirkan Ketetapan MPR Nomor IX Tahun 2001 yang merekomendasikan dilakukannya pembaruan atau revisi terhadap UUPA. Beberapa peraturan perundang-undangan tentang pengelolaan sumber daya alam (agraria) dikeluarkan sejak dilakukannya reformasi pemerintahan di tahun 1998. Baik itu yang kemudian dinilai merupakan langkah maju maupun yang justru dinilai mundur dari substansi peraturan-peraturan sebelumnya.
Landreform kembali masuk dalam program penting pembaruan agraria, yaitu disebutkan
dalam pasal 5 TAP MPR RI No. IX/MPR/2001 bahwa salah satu arah kebijakan pembaruan
agraria adalah:
- melaksanakan penataan kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah (landreform) yang berkeadilan dengan memperhatikan kepemilikan tanah oleh rakyat;
- menyelenggarakan pendataan pertanahan melalui inventarisasi dan registrasi penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah secara komprehensif dan sisematis dalam rangka pelaksanaanlandreform.
24 Maria SW Sumardjono, 2001, Kebijakan Pertanahan: Antara Regulasi dan Implementasi, edisi revisi,
Kompas, Jakarta, hal. 51.
12
Selanjutnya pada masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, redistribusi tanah pun kembali diagendakan. Berdasarkan catatan Kompas, pembagian 8,15 juta hektar lahan ini akan dilakukan pemerintah tahun 2007 hingga 2014. Diperkirakan, 6 juta hektar lahan akan dibagikan pada masyarakat miskin. Sisanya 2,15 juta hektar diberikan kepada pengusaha untuk usaha produktif yang melibatkan petani perkebunan. Tanah yang di bagian ini tersebar di Indonesia, dengan prioritas di Pulau Jawa, Sumatera, dan Sulawesi Selatan. Tanah itu berasal dari lahan kritis, hutan produksi konversi, tanah telantar, tanah milik negara yang hak guna usahanya habis, maupun tanah bekas swapraja25.
C. KESIMPULAN
Dari uraian aspek historis darilandreform di atas, dapat disimpulkan bahwa kebijakan dan pelaksanaanlandreform dipengaruhi oleh politik hukum agraria pada masing-masing rezim. Tetapi satu hal penting yang harus diperhatikan adalah bahwa seharusnyalandreform bertujuan untuk merombak penguasaan dan pemilikan tanah sehingga berpihak pada petani terutama petani kecil. Bukan suatu program yang digunakan suatu rezim untuk kepentingan politis semata, atau kepentingan ekonomis semata.
* * *
25 Pembagian Lahan agar Hati-hati: Ada yang Dijual atau Digadaikan, Kompas 30 Januari 2007.
13

DAFTAR PUSTAKA
Fauzi, Noer, 1999, Petani&Penguasa: Dinamika Perjalanan Politik Agraria di Indonesia,
kerjasama Insist Press, KPA dan Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
Harsono, Boedi, 1999, Hukum Agraria Indonesia: Sejarah Pembentukan Undang-Undang
Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, edisi revisi, Djambatan, Jakarta;
Ismail, Nurhasan, 2006, Perkembangan Hukum Pertanahan Indonesia: Suatu Pendekatan
Ekonomi-Politik, Disertasi pada Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Gadjah Mada
Yogyakarta.
Parlindungan, AP., 1991, Komentar atas Undang-Undang Pokok Agraria, Mandar Maju,
Bandung;
Pembagian Lahan agar Hati-hati: Ada yang Dijual atau Digadaikan, Kompas 30 Januari 2007.
Simarmata, Ricardo, 2006, Pengakuan Hukum terhadap Masyarakat Adat di Indonesia, UNDP
Regional Centre in Bangkok;
Sumardjono, Maria SW, 1998, Kewenangan Negara untuk Mengatur dalam Konsep
Penguasaan Tanah oleh Negara, dalam Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar pada
Fakultas Hukum UGM, tanggal 14 Februari 1998 di Yogyakarta;
-------, 2001, Kebijakan Pertanahan: Antara Regulasi dan Implementasi, edisi revisi, Kompas,
Jakarta;
Suseno, Frans Magnis, 1993, Filsafat sebagai Ilmu Kritis, Kanisius, Yogyakarta;
Tjondronegoro, Sediono MP. &Gunawan Wiradi, 1984, Dua Abad Penguasaan Tanah: Pola
Penguasaan Tanah Pertanian di Jawa dari Masa ke Masa, Yayasan Obor Indonesia dan
PT Gramedia, Jakarta;
Wignjosoebroto, Soetandyo, 1994, Dari Hukum Kolonial ke Hukum Nasional: Dinamika Sosio-
Politik Perkembangan Hukum di Indonesia, Rajawali Press, Jakarta;
14





LANDREFORM
Tanah memiliki hubungan yang abadi dengan manusia. Pengaturan tentang penguasaan pemilikan tanah telah disadari dan dijalankan sejak berabad-abad lamanya oleh negara-negara di dunia. Perombakan atau pembaruan struktur keagrariaan terutama tanah dilakukan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat terutama rakyat tani yang semula tidak memiliki lahan olahan/garapan untuk memiliki tanah. Oleh Parlindungan (1980:27) dikatakan bahwa negara yang ingin maju harus mengadakan land reform.
Hampir semua negara di dunia pernah melakukan reforma agraria. Tonggak pertama reforma agraria dimulai dari Yunani Kuno, Romawi Kuno, Inggris, Perancis, hingga Rusia. Pada masa itu kaum bangsawan dengan fasilitas yang dimilikinya pada umumnya menguasai lahan-lahan pertanian yang luas. Untuk mencegah pemberontakan rakyat terutama petani-petani yang tidak mempunyai lahan atau mempunyai lahan tetapi sempit maka Kaisar mengeluarkan titah tentang pembagian kembali lahan-lahan pertanian kepada petani . Dilaksanakannya Konferensi Dunia mengenai Reforma Agraria dan Pembangunan Pedesaan (World Conference on Agrarian Reform and Rural Developent) yang diselenggrakanan oleh FAO (Food and Agriculture Organisation) PBB di Roma pada bulan Juli 1979 merupakan tonggak yang penting dalam sejarah perjuangan yang panjang untuk melawan kemiskinan dan kelaparan. Konferensi ini berhasil merumuskan Deklarasi Prinsip-prinsip dan Program Kegiatan (Declaration of Principles and Programme of Action) yang dikenal dengan Piagam Petani (The Peasants’ Charter).
Indonesia merupakan salah satu peserta dari konferensi dunia itu melakukan pembaruan di bidang keagrariaan pada periode 1960-an sebagai perwujudan dari pasal 33 ayat (3) UUD 1945, dengan dikeluarkannya Undang-Undang No.5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (disingkat UUPA) pada tanggal 24 September 1960, yang selanjutnya diikuti dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu) No.56 Tahun 1960 tentang Luas batas maksimum dan minimum pemilikan tanah , pada tanggal 24 Desember 1960.
Pertanyaan sekarang adalah sejauhmanakah urgensi pembatasan luas batas maksimum dan minimum kepemilikan tanah dalam upaya pencegahan dan penyelesaian konflik pertanahan di Indonesia?
1. Pengertian dan Dasar Hukum Landreform
Land Reform diartikan dengan perubahan struktur penguasaan pemilikan tanah. Oleh A.P. Parlindungan dikatakan istilah land reform bukan hanya dalam pengertian politik belaka tapi juga pengertian teknis. Land reform di Negara-negara komunis merupakan slogan untuk memenangkan massa rakyat, karena issue tanah, pemilikan tanah, distribusi tanah, hancurkan tuan tanah adalah issue emosional yang sangat menarik, sehingga banyak sarjana maupun FAO (Food and Agricultural Organization) mempergunakan istilah Agrarian Reform daripada istilah Land Reform (Parlindungan A.P. 1989:8).
Agrarian reform Indonesia meliputi lima program yaitu:
pembaharuan hukum agrarian
penghapusan hak-hak asing dan konsesi-konsesi colonial atas tanah
mengakhiri penghisapan feudal secara berangsur-angsur
perombakan mengenai pemilikan dan penguasaan tanah serta hubungan-hubungan hukum yang bersangkutan dengan penguasaan tanah
perencanaan persediaan, peruntukan dan penggunaan bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya serta penggunaan bumi, air dan
kekayaan alam yang terkandung didalamnya itu secara berencana sesuai dengan daya kesanggupan dan kemampuannya.
Keseluruhan yang tersebut di atas merupakan pengertian land reform dalam arti luas sedangkan pengertian land reform dalam arti sempit terdapat pada point 4.(Perangin, Effendi, 1989:121).
2. Dasar Hukum Land Reform:
Sebagai pelaksanaan dari pasal 17 UUPA tentang batas minimum dan maksimum hak atas tanah, Pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu) No.56 Tahun 1960 pada tanggal 29 Desember 1960 dan mulai berlaku tanggal 1 Januari 1960. Perpu No. 56/1960 ini kemudian ditetapkan menjadi Undang-undang No.56 Prp tahun 1960 (LN 1960 no. 174, Penjelasannya dimuat dalam TLN No. 5117 tentang Penetapan luas tanah pertanian. UU No. 56/1960 merupakan undang-undang land reform di Indonesia (Harsono, Boedi, 1999:356). Selanjutnya dikeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 224 tahun 1961 (LN 1961-280) tentang Pelaksanaan Pembagian Tanah dan Pemberian Ganti Rugi. (Parlindungan, A.P., dalam Nur, S.R., 1986:23).
3. Tujuan Land Reform
Tujuan dari land reform yang diselenggarakan di Indonesia adalah untuk mempertinggi penghasilan dan taraf hidup para petani penggarap tanah, sebagai landasan atau prasyarat untuk menyelenggarakan pembangunan ekonomi menuju masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila.
4. Program Land Reform
Program land reform meliputi:
pembatasan luas maksimum pemilikan tanah
larangan pemilikan tanah secara apa yang disebut “absentee” atau “guntai”
redistribusi tanah-tanah yang selebihnya dari batas maksimum, tanah-tanah yang terkena larangan “absentee”, tanah-tanah bekas swapraja dan tanah-tanah Negara
pengaturan soal pengembalian dan penebusan tanah-tanah pertanian yang digadaikan.
pengaturan kembali perjanjian bagi hasil tanah pertanian, dan
penetapan luas minimum pemilikan tanah pertanian, disertai larangan untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang mengakibatkan pemecahan pemilikan tanah-tanah pertanian menjadi bagian-bagian yang terlampau kecil.
5. Analisis
Sebagaimana di uraikan di atas bahwa salah satu program landreform adalah pembatasan luas maksimum dan minimum tanah yang dapat dimiliki oleh rakyat. Namun, Pelaksanaan pembatasan kepemilikan tanah hingga sekian puluh tahun usia UUPA masih juga belum seperti yang diharapkan. Ini tampak dari beberapa hal yaitu :
Pertama, kepemilikan tanah secara absentee, yang seringkali merupakan hal yang diketahui, tetapi sulit untuk dibuktikan karena dilakukan melalui cara-cara pembuatan surat kuasa mutlak atau pemilikan KTP ganda.
Kedua, pemilikan batas maksimum juga tidak selalu terdeteksi dan hal-hal seperti ini menyumbang pada persoalan macetnya program landreform.
Ketiga, belum ada peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang maksimum luas tanah yang dapat dikuasai dengan menggunakan hak guna usaha (HGU). Pada pasal 28 ayat 2 Undang-undang Pokok Agraria, hanya disebutkan bahwa HGU diberikan atas tanah yang luasnya minimal lima hektar, den-gan ketentuan bahwa jika luasnya 25 hektar atau lebih harus memakai investasi modal yang layak dan tek-nik perusahaan yang baik, sesuai dengan perkembangan jaman. UUPA sama sekali tidak menyinggung tentang luas maksimal HGU.
Untuk HGU, bila luasnya kurang dari 25 hektar dan peruntukan tanahnya bukan untuk tanaman keras serta perpanjangan waktunya tidak lebih dari lima tahun, maka yang berwenang memberikan adalah Gubernur. Selanjutnya, peraturan Kepala BPN No. 3 tahun 1992 menyebutkan pemberian HGU kurang dari 100 hektar ditandatangani oleh Kepala Kantor Wilayah BPN setempat, sedangkan untuk HGU yang mencapai lebih dari 100 hektar diberikan oleh Kepala BPN.
Luas maksimum tanah hak guna bangunan (HGB) juga tidak diatur oleh UUPA. Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) No. 6 tahun 1972, Pasal 4 menyatakan keputusan pemberian HGB untuk tanah yang luasnya tidak lebih dari 2.000 meter persegi dan jangka waktunya tidak melebihi 20 tahun di-berikan oleh Gubernur. Sedangkan menurut peraturan Meneg Agraria No. 2 tahun 1993, Surat Keputusan pemberian HGB untuk tanah yang luasnya lebih dari 5 hektar diterbitkan oleh Kakanwil BPN dan jika luasnya kurang dari 5 hektar diterbitkan oleh Kepala Kantor Pertanahan. Hal ini menjadi salah hambatan dalam pelaksanaan aturan tentang batas luas maksimum dan minimum tanah yang dapat dimiliki.
Peraturan yang jelas dan tegas tentang pembatasan pemilikan tanah kini menjadi semakin penting, seiring dengan kebutuhan atas tanah yang semakin meningkat. Terhadap penguasaan tanah pertanian, Pasal 7 UUPA meletakkan prinsip bahwa pemilikan dan penguasaan tanah yang melampaui batas tidak diperk-enankan agar tidak merugikan kepentingan umum. Maka, Pasal 11 ayat (1) UUPA mengatur hubungan antara orang dengan tanah beserta wewenang yang timbul darinya. Hal ini juga dilakukan guna mencegah penguasaan atas kehidupan dan perkerjaan orang lain yang melampaui batas. Kemudian ayat 2 dari pasal yang sama juga memperhatikan adanya perbedaan da-lam keadaan dan keperluan hukum berbagai golongan masyarakat sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional.
Penekanan dari aturan ini adalah akan diberikannya jaminan perlindungan terhadap kepentingan golongan ekonomi lemah. Dalam Pasal 12 dan Pasal 13 UUPA, pemerintah menegaskan usaha pencegahan monopoli swasta. Sedang-kan usaha pemerintah dalam lapangan agraria yang bersifat monopoli hanya dapat diselenggarakan dengan undang-undang.
Masalah penguasaan tanah pertanian, prinsip dasarnya telah digariskan dalam Pasal 7 dan Pasal 10 (prinsip mengerjakan atau mengusahakan sendiri hak atas tanah pertanian secara aktif) serta Pasal 17 yang mengisyaratkan tentang perlunya peraturan mengenai batas maksimum luas tanah pertanian yang dapat dipunyai oleh satu keluarga atau badan hukum.
Urusan tanah-tanah nonpertanian diatur dengan UU No. 56 PRP tahun 1960 Pasal 12 tentang perlunya pembatasan maksimum luas dalam jumlah (bidang) tanah untuk perumahan. Sedangkan untuk pembangunan lainnya akan diatur dengan peraturan pemerintah (PP). Namun hingga saat ini PP tersebut masih belum juga terbit.
Sebelum memperoleh hak atas tanah, pemilik HGU dan HGB (biasanya adalah penanam modal) harus memperoleh ijin lokasi yang sering berdampak negatif karena disalah gunakan serta pengawasan dan pengendaliannya tidak efektif. Perolehan tanah lewat ijin lokasi tanpa ketentuan batas maksimum tanah sering diwarnai dengan pemberian ganti rugi yang tidak adil dan disertai pemaksaan kehendak secara sepihak dan penggusuran. Alih fungsi tanah pertanian sering dilakukan untuk dijual lagi dengan harga mahal.
Tanah tidak pernah dijadikan strategi pembangunan sehingga pelaksanaan UUPA sering terhambat secara politis psikologis. Hingga kini belum ada alokasi penggunaan tanah untuk berbagai keperluan sehingga sering timpang. Rencana tata ruang juga sering dimanipulasi oleh banyak pihak. Pemerintah saat ini perlu memiliki lembaga penyalur tanah (land banking), untuk mengendalikan pihak swasta yang ingin menguasai tanah secara besar-besaran untuk berbagai keperluan. Selain itu, orientasi pembangunan yang cenderung mengejar pertumbuhan dan bertumpu pada strategi industrialisasi tanpa perencanaan penggunaan tanah yang baik, berakibat pada pengalihfungsian tanah-tanah pertanian untuk kegunaannya yang lain. Akibat dari ketimpangan akses kepemilikan tanah ditambah dengan rasa ketidakadilan dari bekas pe-megang hak atas tanah yang tergusur dan kecemburuan sosial dari masyarakat yang tersingkirkan dari ke-sempatan memperoleh tanah, ditambah krisis moneter yang membuat banyak orang terkena PHK, kini tampak dalam bentuk penyerobotan dan “penjarahan” tanah.
Pilihan kebijakan pertanahan dalam kaitannya dengan penguasaan tanah adalah keseimbangan antara memberikan ruang gerak bagi berkembangnya investas sekaligus melindungi dan memberdayakan masyarakat dalam memenuhi kebutuhannya atas tanah. Jika dapat memilih, maka dasar kebijakan yang perlu diambil haruslah kebijakan pertanahan yang bertumpu pada ekonomi kerakyatan demi pelaksanaan Pasal 33 ayat 3 UUD 1945. Kata kunci dari semuanya adalah tanah dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Kebijaksanaan pertanahan harus mampu menjamin keadilan untuk mendapat akses dalam perolehan dan pemanfaatan tanah. Selain itu, kebijakan ini mengikutsertakan masyarakat dalam proses pembuatan kebijakan dan berbagai keputusan penting yang menyangkut pemanfaatan tanah terutama yang berskala dan berdampak besar. Masyarakat juga harus dapat turut mengawasi terlaksananya berbagai ketentuan yang menyangkut pen-guasaan tanah yang punya dampak besar.
Sudah saatnya dilakukan sesuatu yang konkrit melalui pendekatan holistik dalam merancang kebijakan pe-nataan kembali penguasaan tanah agar kebijakan yang diterbitkan tidak terkesan parsial atau justru malah bertentangan sama sekali.
Dari uraian ini disimpulkan bahwa pembatasan luas maksimum dan minimum tanah merupakan hal yang penting karena pemilikan dan penguasaan tanah yang melampaui batas tidak diperkenankan dapat merugikan kepentingan umum. Selain itu, pembatasan juga dapat memberi pengaturan untuk mengatur hubungan antara orang dengan tanah beserta wewenang yang timbul darinya. Hal ini juga dilakukan guna mencegah penguasaan atas kehidupan dan perkerjaan orang lain yang melampaui batas. Penekanan lain dari aturan ini adalah akan diberikannya jaminan perlindungan terhadap kepentingan golongan ekonomi lemah dengan melakukan usaha pencegahan monopoli swasta. Hal ini dapat lebih memudahkan proses pencegahan atau penyelesaian konflik pertanahan yang timbul di kemudian hari. (posted by andi sufiarma)

0 komentar: