THOUSANDS OF FREE BLOGGER TEMPLATES

Selasa, 02 Agustus 2011

PERMASALAHAN KONSOLIDASI TANAH



PERMASALAHAN
SEBELUM PELAKSANAAN
KONSOLIDASI TANAH


Deskripsi Singkat.
            Yang dimaksud dengan permasalahan dalam konsolidasi tanah bukanlah kasus perselisihan / sengketa atas tanah, baik yang menyangkut batas – batas tanah maupun kepemilikan bidang tanah dalam ranah perdata / pidana, melainkan lebih mengarah pada kesulitan / problem, yang bersifat tehnis maupun non tehnis dan kerap terjadi dalam praktek di lapangan yang menghalangi kelancaran pelaksanaan kegiatan, sehingga penyelesaian program konsolidasi tanah tersendat - sendat,  berlarut – larut bahkan tidak tuntas.  
            Melalui kegiatan monitoring dan evaluasi, dilaksanakan rekapitulasi atas seluruh laporan pelaksanaan kegiatan konsolidasi di daerah, termasuk permasalahan yang terjadi praktek keseharian, dan berdasarkan hasil rekapitulasi dimaksud, permasalahan yang muncul dalam pelaksanaan kegiatan konsolidasi tanah selanjutnya dirumuskan dan dikelompokkan kedalam tiga ( 3 ) kelompok  permasalahan, yaitu :
1.        Permasalahan sebelum pelaksanaan Konsolidasi Tanah;
2.        Permasalahan selama pelaksanaan Konsolidasi Tanah;
3.        Permasalahan setelah pelaksanaan Konsolidasi Tanah.  
                        Dalam Modul 1 ini, akan dijelaskan secara singkat mengenai permasalahan
permasalahan yang ditemui sebelum pelaksanaan kegiatan konsolidasi tanah.                                                   

Relevansi.
            Pembahasan tentang permasalahan sebelum pelaksanaan konsolidasi tanah memegang peranan penting dalam pelaksanaan kegiatan, dengan diketahuinya masalah yang muncul sebelum pelaksanaan, maka Aparat pelaksanan dapat mengantisipasinya agar kegiatan konsolidasi tanah dapat berlanjut ketahap pelaksanaan.

Tujuan Instruksional Khusus ( TIK ). 
            Setelah mengikuti Modul 1 ini, para peserta Diklat mampu menjelaskan permasalahan yang terdapat sebelum pelaksanaan kegiatan konsolidasi tanah.
                                           
Uraian. 
            Adapun permasalahan-permasalahan yang ditemui sebelum pelaksanaan kegiatan konsolidasi tanah pada umumnya terdiri dari hal-hal, antara lain sebagai berikut  : 
                         
1.1.      Pemilihan Lokasi.
Kesalahan pemilihan lokasi merupakan kegagalan awal pelaksanaan Konsolidasi Tanah, penentuan lokasi kegiatan tanpa memperhatikan faktor tata ruang serta rencana prioritas pembangunan daerah setempat ,merupakan tindakan gegabah, karena dari segi yuridis, ketentuan tata ruang merekomendasikan bahwa segala kegiatan pembangunan harus didasarkan pada Rencana Umum Tata Ruang ( RUTR ) dengan segala turunannya yang diundangkan melalui Perda setempat.  

         1.1.1.      Makna Pemilihan Lokasi.
Pemilihan lokasi adalah serangkaian kegiatan penilaian dengan menggunakan parameter – parameter tertentu terhadap lokasi lokasi yang berpotensi, dengan pemberian nilai pembobotan / perangkingan  mulai dari urutan tertinggi hingga terendah, yang akan dipilih kemudian sebagai lokasi yang paling berpotensi untuk dilaksanakan kegiatan konsolidasi tanah.

         1.1.2.      Pelaksanaan Pemilihan lokasi. 
Sebagaimana difahami bahwa salah satu konsep dasar pembangunan nasional  adalah mengurangi kesenjangan pertumbuhan antar wilayah dan pemerataan pembangunan keseluruh wilayah,  dengan tetap menekankan agar pembangunan yang dilaksanakan tetap memperhatikan keserasian ekosistem dan pendukungnya. Dengan arahan kebijakan ini maka koordinasi keseluruhan pembangunan harus mencakup segi spasial ( spatial ), dan selanjutnya segi spasial akan menjadi dasar bagi pencapaian keserasian dan optimasi pemanfaatan ruang, dengan kata lain bahwa rencana tata ruang merupakan alat koordinasi pelaksanaan pembangunan di daerah yang menjamin agar keseluruhan kegiatan pembangunan di daerah merupakan satu kesatuan pembangunan nasional. 

Tata ruang pada intinya bermakna sebagai penataan penggunaan ruang, atau perencanaan tata guna ruang yang bermaksud mengatur pemanfaatan ruang secara berencana, terarah, terpadu dan berkesinambungan.  Tata ruang mempunyai ruang lingkup yang luas yang meliputi daratan, perairan dan udara,  sehingga penataan ruang bukanlah tindakan yang sekedar mengalokasikan ruang untuk suatu kegiatan tertentu saja, melainkan penempatan kegiatan penggunaan tanah, air dan ruang udara sesuai kemampuannya.   
                                                       
Hal ini bertujuan untuk menghindari konflik penggunaan ruang, yaitu suatu pendekatan bidang kegiatan terhadap bidang kegiatan lainnya yang lebih sesuai dengan karakter ruang tersebut, sehingga dapat dicapai optomalisasi usaha sesuai kondisi ruang demi menjamin pemanfaatan atas ruang dimaksud.

Dengan mengacu pada Rencana Umum Tata Ruang ( RUTR ), teristimewa Rencana Detail Tata Ruang ( RDTR ) dan Rencana Tehnik Ruang ( RTR ), serta rencana prioritas pembangunan daerah, maka pemilihan lokasi kegiatan Konsolidasi Tanah dapat diarahkan pada wilayah – wilayah dengan kriteria antara lain sebagai berikut :
a.      Wilayah pemukiman kumuh.
b.     Wilayah pertanian yang kurang didukung sarana pertanian.
c.      Wilayah pemukiman yang mulai tumbuh.
d.      Wilayah yang direncanakan menjadi pemukiman baru.
e.  Wilayah yang relatif kosong, bagian pinggiran kota yang  diperkirakan akan   berkembang.

Selain faktor RTUTR dan rencana prioritas pembangunan daerah , masih terdapat faktor lain yang juga tak kalah penting diperhitungkan untuk menentukan kelayakan objek konsolidasi tanah, antara lain sebagai berikut :

                        a.      Aksesibilitas lokasi.
b.      Animo masyarakat.
                        c.       Jumlah bidang tanah.
d.       Keadaan topografi yang relatif datar.
e.       Semakin banyak pemilik tanah / semakin luas lokasi,
          semakin ideal.

Salah satu kunci penentu agar pelaksanaan Konsolidasi Tanah memiliki multiplier effect bila dikaitkan dengan tata ruang daerah  adalah pemilihan lokasi yang dilakukan secara cermat.                                                           
Oleh karena itu kriteria dari setiap pemilihan lokasi menjadi penting.  Pemilihan parameter lokasi yang berwawasan Tata Ruang adalah rekayasa suatu strategi integral dari strategi umum pembangunan wilayah / daerah.
Permasalahan fundamental pada pemilihan lokasi terletak pada bagaimana memprediksi bahwasanya suatu lokasi akan berkembang sesuai dengan arah dan tujuan konsolidasi tanah yang berbasis tata ruang dan searah dengan rencana prioritas pembangunan daerah.  Para pakar, antara lain seperti : Ir. Kurdinanto Sarah, M.Sc, Edgar M Hover dll,  merekomendasikan bahwa idealnya penilaian wilayah dalam rangka pemilihan lokasi dilakukan melalui metode  :
a.             Pendekatan secara Makro.
Tujuan penilaian melalui pendekatan secara makro ini adalah untuk memastikan secara makro apakah wilayah dimaksud layak atau tidak layak. Pendekatan makro adalah pendekatan yang berdasarkan : azas kesesuaian ( sesuai dengan RUTR ), azas kesempatan ( potensial berkembang ) dan azas keberlanjutan ( integral dengan program pembangunan lainnya ), yang mengacu pada tiga hal dasar yaitu :

1.       Adanya kebutuhan dari masyarakat,
2.       Adanya pertumbuhan dan perubahan,
                                                    3.       Adanya konsideransi lingkungan.

Jadi pendekatan makro digunakan mengawali penilaian pemilihan lokasi konsolidasi tanah yang bertujuan untuk melihat secara keseluruhan apakah wilayah penilaian mempunyai daya tarik atau tidak, dengan kata lain penilaian wilayah melalui pendekatan makro  akan menghasilkan Wilayah Potensial  dan Wilayah Tidak Potensial.
                                                       
b.                 Pendekatan secara Mikro.
Selanjutnya wilayah potensial, hasil penilaian dari pendekatan secara makro dianalisis dengan pendekatan mikro.  Tinjauan pendekatan mikro adalah analisis dari sudut rencana tapak ( site plan ) yang merupakan pendorong keberhasilan program, kepercayaan masyarakat terhadap sebuah program sangat tergantung pada kekuatan dalam menganalisa tapak, bahwasanya masyarakat pemilik tanah tidak akan dirugikan akan tetapi justru akan diuntungkan pada kemudian hari, inilah sasaran dari pendekatan mikro.
Rancana tapak ( site plan ) yang merupakan hasil study planologis adalah gambaran yang menampung aspirasi yang tidak merugikan pemilik tanah, oleh karena itu dalam meninjau secara mikro hal – hal yang berkaitan dengan program perlu memperhatikan beberapa tinjauan sebagai berikut  :
1.       Mempunyai aksesibilitas yang relatif mudah, misalnya lokasi berada disisi jalan yang menghubungkan kawasan lain sehingga lokasi dimaksud cenderung berkembang cepat,
2.       Pada awal, harga tanah berada pada tingkat relatif rendah, sehingga sangat memungkinkan bertambah tinggi setelah tersedianya infrastruktur dikemudian hari,
3.       Telah terjadi proses fragmentasi yang amat tinggi,
4.       Jumlah kepemilikan tanah relatif banyak, terbuka dan luas kepemilikannya relatif cukup untuk dikonsolidasikan, serta luas bidang tanah setelah program, sesuai dengan rencana tata ruang setempat,                               
5.       Pada setiap individu pemilik tanah, tidak terdapat sengketa, baik mengenai batas maupun kepemilikannya,
6.       Analisis biaya pembangunan, jadwal, dan prospek kenaikan nilai / harga tanah setelah program.
Penilaian wilayah dari sudut pendekatan mikro akan      menghasilkan Wilayah Potensial Detail.

Selanjutnya hasil penilaian wilayah dari kedua pendekatan tersebut diatas masing – masing diberi bobot penilaian guna penetapan rangking, semakin besar nilainya semakin tinggi rangkingnya sebagai prioritas lokasi kegiatan Konsolidasi Tanah.   Dengan tersusunnya lokasi –lokasi potensial diharapkan kegagalan awal akibat salah memilih lokasi dapat diminimalisir.

Namun secara kasuistis,  kegagalan juga dapat terjadi atas lokasi yang telah sesuai dengan tata ruang setempat, dengan adanya perubahan - perubahan pada lokasi yang bersangkutan, seperti perubahan :

1.            Fisik tanah ; biasanya terjadi pada tanah pertanian eks HGU, yang sudah diduduki dan dikuasai oleh para penggarap dan digunakan sebagai tanah pemukiman ( pekarangan ).
2.           Yuridis ; terbit Perda baru yang merubah penggunaan tanah lokasi dimaksud.

Berdasarkan pengalaman pelaksanaan konsolidasi tanah di seluruh Indonesia, bahwa pada umumnya kegagalan  juga turut disebabkan oleh pemilihan lokasi secara sederhana, hanya berdasarkan kemauan masyarakat lokasi yang bersangkutan saja, tanpa mengikuti kaidah sebagaimana yang direkomendasikan oleh para pakar.   

1.1.3.     Saran Penyelesaian.
                       Dalam pelakasaan kegiatan Pemilihan Lokasi hendaknya  memperhatikan rekomendasi para Pakar, yaitu didahului dengan kegiatan Penilaian Lokasi melalui pendekatan makro dan mikro, yang akan menghasilkan wilayah potensial detail, dan selanjutnya diberikan nilai pembobotan / perengkingan sebagai lokasi prioritas konsolidasi tanah, yang diharapkan akan mengurangi / meminimalisir kesalahan pemlihan lokasi. 


1.2.      Penyuluhan.
   Adapun masalah / hambatan konsolidasi tanah yang berkaitan dengan penyuluhan adalah keterbatasan kemampuan aparat BPN di daerah, terlebih  keterbatasan kemampuan non tehnis seperti tehnik komunikasi yang merupakan salah satu unsur utama penyuluhan, keterbatasan media komunikasi seperti multi media, keterbatasan jangka waktu penyuluhan yang dianggap terlalu singkat, keterbatasan penguasaan materi konsolidasi tanah dan lain seagainya.

1.2.1.  Makna Penyuluhan.
            Kegiatan penyuluhan merupakan salah bentuk bentuk komunikasi yang sering digunakan oleh Pemerintah untuk menyampaikan suatu pesan / informasi  kepada masyarakat banyak, dalam penyuluhan komunikasi yang terjadi adalah dua arah, sehingga diharapkan pesan / informasi yang disampaikan dapat dipahami betul oleh masyarakat.

Istilah penyuluhan berasal dari kata suluh, yang berarti obor, alat penerangan, sehingga istilah penyuluhan berarti penerangan.  Apa yang diterangkan dalam penyuluhan adalah gagasan tentang sesuatu yang belum dimengerti oleh masyarakat, sehingga mereka membutuhkan penjelasan / penerangan yang sejelas mungkin / gamblang dari pihak Penyuluh.

1.2.2.  Pelaksanaan Penyuluhan.
Agar pesan dapat diterima dengan baik oleh masyarakat, maka mau tidak mau tenaga Penyuluh adalah orang yang benar – benar menguasai materi tentang gagasan yang akan disampaikan kepada masyarakat, sehingga penjelasan yang akan diberikan bersifat lengkap / tidak sepotong – sepotong, dan mampu menjawab semua persoalan yang berkaitan dengan substansi dimaksud, sehingga jika masyarakat terpuaskan. Selain tenaga Penyuluh, terkadang diperlukan alat bantu yang dapat menunjang keberhasilan komunikasi, seperti multimedia, film, Penterjemah ( Interpreter / Translator ), dan lain – lain, sehingga gagasan tentang kegiatan konsolidasi tanah dengan segala aspeknya dapat dipahami dengan baik.

                     Program Konsolidasi Tanah adalah program terpadu antara Pemerintah dengan Masyarakat, sehingga pelaksanaannya mau tidak mau harus melibatkan kedua belah pihak secara harmonis. Substansi pokok dalam konsolidasi tanah adalah partisipasi masyarakat untuk menyumbangkan sebagian tanah miliknya yang selanjutnya akan dipakai untuk pembangunan fasilitas umum dan sosial ( Fasum / Fasos ).

              Salah satu upaya guna mendapatkan kemauan dan partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan kegiatan konsolidasi tanah adalah melalui kegiatan penyuluhan.  Melalui penyuluhan masyarakat diberikan penjelasan mengenai manfaat, keuntungan dan tujuan konsolidasi tanah dengan segala aspeknya, terutama partisipasi masyarakat untuk menyumbangkan sebagian tanah miliknya untuk dibangun sebagai lokasi fasilitas umum dan fasilitas sosial ( FASUM / FASOS ).

          Sehubungan dengan hal tersebut diatas, maka penyuluhanpun memegang peranan kunci keberhasilan pelaksanaan kegiatan konsolidasi tanah.  Berhasil tidaknya konsolidasi tanah, ikut ditentukan oleh kegiatan penyuluhan yang dilaksanakan pada tahap – tahap awal kegiatan.

          Melalui upaya penyuluhan, masyarakat dapat memiliki gambaran tentang konsolidasi tanah yang utuh dengan segala implikasinya, sehingga mereka dapat segera memberikan respon penilaian sekaligus keputusan berpartisipasi dalam kegiatan dimaksud.

          Berdasarkan pengalaman pelaksanaan konsolidasi tanah di seluruh Indonesia, bahwa pada umumnya kegagalan juga turut disebabkan oleh penyuluhan yang kurang berhasil.  Hal ini nampak pada awal kegiatan, masyarakat nampak antusias, namun ditengah kegiatan mereka menarik diri dan menolak ikut berpartisipasi dengan berbagai alasan. 

          Adapun kendala / kelemahan penyuluhan, yang dirasakan selama ini adalah :

a.       Terbatasnya kemampuan petugas penyuluh yang cukup berkualitas ,baik penguasaan materi konsolidasi tanah maupun tehnis penyuluhan yang baik, sehingga BPN RI perlu membekali aparat pelaksanana di daerah dengan tambahan keterampilan yang cukup melalui pendidikan dan latihan jangka pendek.

b.      Jangka waktu yang disediakan / dialokasikan untuk kegiatan penyuluhan amat singkat, sehingga penyuluhan dilaksanakan hanya beberapa kali saja sebelum pelaksanaan ketahap selanjutnya, padahal disisi lain, kegiatan konsolidasi tanah adalah kegiatan lintas sektoral, yang memerlukan waktu yang cukup.    
      
          Sebagai perbandingan, kegiatan penyuluhan konsolidasi tanah di Taiwan ( salah satu negara yang sukses menyelenggarakan konsoliasi tanah ) persiapan pelaksanaan termasuk kegiatan penyuluhan dilaksanakan selama satu ( 1 ) tahun penuh, sehingga masyarakat benar – benar memahami apa makna dan tujuan konsolidasi tanah, serta manfaat dan keuntungan apa saja yang akan diperoleh oleh masyarakat, baik secara pribadi maupun berkelompok.   
  
1.2.3.   Saran Penyelesaian.
            Agar penyuluhan dapat mencapai tujuan sebagaimana yang diharapkan, maka ada beberapa hal yang perlu mendapat perhatian, antara lain sebagai berikut :

a.             Hendaknya tenaga penyuluh benar – benar menguasai materi  / substansi yang akan disampaikan kepada masyarakat.
b.          Jangan ragu untuk menggunakan alat bantu, seperti   multimedia dan lain sebaginya.

c.           Bila perlu menggunakan jasa Jurubahasa / Interpreter setempat.


d.           BPN Pusat hendaknya melengkapi Personilnya dengan berbagai macam keterampilan tehnis dan non tehnis melalui DIKLAT Tehnis Konsolidasi Tanah maupun Keterampilan Non Tehnis seperti : Komunikasi Massa, Psikologi, dan lain sebagainya.

e.   BPN Pusat perlu memikirkan dan merumuskan kembali jangka waktu penyuluhan yang terlalu singkat, ( jika dibandingkan dengan Negara Taiwan yang sukses melaksanakan konsolidasi tanah ), untuk disesuaikan kembali melalui peraturan yang baru.
  

1.3.     Persetujuan Peserta.  
Hambatan / kesulitan pelaksanaan kegiatan konsolidasi yang dikaitkan dengan persetujuan peserta adalah besaran persentasi 85 %, dianggap terlalu sulit untuk didapatkan,  dan masyarakat peserta yang tidak setuju namun lokasi tanahnya menyebar secara sporadik dalam lokasi konsolidasi tanah.
         1.3.1.     Makna Persetujuan Peserta. 
Pelaksanaan Konsolidasi Tanah baru dapat dilaksanakan apabila telah mendapatkan persetujuan dari masyarakat pemilik yang menjadi peserta sekurang – kurangnya 85 % dan luas tanahnya meliputi sekurang – kurangnya 85 % dari areal yang akan dikonsolidasi ( Pasal 4 ayat 5 Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 4 / 1991 ).
Persetujuan masyarakat yang disyaratkan sebesar minimal 85% dianggap terlalu tinggi sehingga sulit dicapai. Dalam praktek  pelaksanaannya dibutuhkan waktu yang panjang nan berliku untuk memperoleh persetujuan dimaksud.
       Secara filosofis angka 85% ini bermakna sebagai ”persetujuan mayoritas” yang hanya akan digunakan  sebagai acuan untuk menilai kesiapan / animo masyarakat setempat untuk menerima kegiatan konsolidasi tanah.

      Dengan perkataan lain bahwa pelaksanaan konsolidasi tanah akan lebih aman jika didasarkan atas persetujuam mayoritas.

           1.3.2.     Pelaksanaan Persetujuan Peserta.

Adapun hal-hal yang menyebabkan sulitnya mendapatkan persetujuan mayoritas dimaksud antara lain adalah :
a.             Kekurangpahaman masyarakat terhadap arti dan manfaat Konsolidasi Tanah.
b.             Ketidakrelaan masyarakat menyumbangkan tanahnya untuk STUP dengan berbagai alasan.
c.              Pemilik Tanah sesungguhnya domisilinya tidak diketahui secara pasti

Dengan tidak dicapainya persetujuan mayoritas dari masyarakat, tentunya pelaksanaan konsolidasi tanah pada lokasi  yang sudah terpilih tidak dapat dilaksanakan.
1.3.3.     Saran Penyelesaian.
           Guna mengatasi / mengantisipasi kesulitan – kesulitan yang berhubungan dengan persetujuan peserta, terdapat beberapa hal yang perlu mendapat perhatian serius, seperti : 

a.             BPN Pusat harus mempertimbangkan kembali besaran persentasi 85 % yang amat sulit dicapai ( sebagai bahan perbandingan, Jepang, salah satu negara yang sukses melaksanakan konsolidasi tanah, menetapkan persetujuan peserta hanya sebesar 60 % saja ).

b.             BPN ( Pusat dan Daerah ) harus lebih giat melakukan sosialisasi mengenai manfaat dan keuntungan konsolidasi tanah bagi masyarakat perorangan maupun keseluruhan.

1.4.     Dasar Hukum Pelaksanaan Konsolidasi Tanah.

Hambatan / kesulitan pelaksanaan konsolidasi tanah yang dirasakan sehubungan dengan dasar hukum, adalah lemahnya peraturan dasar konsolidasi tanah, yang hanya diatur dengan peraturan Kepala BPN, sedangkan kegiatan konsolidasi adalah sebuah kegiatan yang bersifat lintas sektoral, kegiatan yang melibatkan Instansi Pemerintah lain, diluar BPN yang nota bene bukan dibawah kendali BPN, seperti  Pemda.

1.4.1.    Makna Dasar Hukum.
 
Konstitusi negara ( UUD – 1945 ) menegaskan bahwa Negara RI adalah negara yang berdasarkan hukum ( rechtstaat ), yang bermakna bahwa dalam kehidupan berbangsa dan bernegara segala sesuatu tindakan harus berdasarkan pada hukum, termasuk kebijakan Pemerintah sekalipun, harus ada dasarnya.

1.4.2.     Pelaksanaan Dasar Hukum.
Konsolidasi Tanah adalah salah satu kebijakan Pemerintah dibidang pertanahan, yang juga harus mempunyai dasar hukum guna pelaksanaannya dalam masyarakat.  Adapun dasar hukum pelaksanaan kegiatan konsolidasi tanah antara lain adalah :

a.             Dasar Hukum Materil : Hukum Perikatan Buku III BW. 
b.        Dasar Hukum Operasional / Administrasi : Peraturan Kepala BPN No. 4 / 1991 tentang Konsolidasi Tanah.

Sedangkan masalah – masalah yang berhubungan dengan dasar hukum dalam pelaksanaan KT, antara lain adalah :

a.        Hukum Perikatan.
Peraturan Kepala BPN No. 4 / 1991 menegaskan bahwa Konsolidasi Tanah baru dapat terlaksana jika terdapat persetujuan dari masyarakat pemilik tanah. Tanpa persetujuan pemilik tanah, Konsolidasi Tanah  tidak dapat dilaksanakan.  

Perikatan yang mengikat Pelaksana Konsolidasi Tanah ( Pemerintah ) dan Masyarakat Peserta , tidak mengikat Masyarakat yang tidak setuju (15%), sehingga masalah yang muncul adalah jika tanah – tanah milik Masyarakat yang tidak setuju secara kebetulan letak tanahnya tersebar secara sporadik dalam lokasi Konsolidasi Tanah.

b.      Peraturan Kepala BPN Nomor 4 / 1991.
Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional  No. 4 / 1991 dirasakan lemah karena :

1.             Tidak bisa mengikat Instansi lain diluar BPN, seperti Pemerintah Daerah untuk ikut bertanggung jawab secara penuh terutama pada pembangunan fisik lokasi Fasos / Fasum yang notabene bukan merupakan tupoksi BPN.

2.             Tidak bisa memaksa Masyarakat yang tidak setuju untuk  mengikuti kegiatan konsolidasi tanah. 



1.4.3.     Saran Penyelesaian.
Sehubungan dengan kesulitan pelaksanaan kegiatan konsolidasi tanah sebagaimana tersebut diatas, disarankan agar  :

a.              BPN Pusat agar segera meningkatkan dasar hukum konsolidasi tanah dari Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional menjadi Peraturan Pemerintah ( PP ) atau Peraturan Presiden ( PERPRES ) agar dapat mengikat semua Instansi Pemerintah yang terkait dalam kegiatan konsolidasi tanah.
b.             Dalam peraturan perundangan baru seperti tersebut diatas, harus ada rumusan jalan keluar bagi Masyarakat yang tidak setuju ( diluar 85 % ), mengingat bahwa pelaksanaan konsolidasi tanah di Indonesia tidak bersifat wajib, melainkan bersifat sukarela.  
















  
LATIHAN.
Diskusikanlah secara berkelompok, mengenai Teori   Pemilihan  Lokasi sebagaimana yang dianjurkan oleh para praktisi seperti ; Kurdinanto Sarah Cs, bandingkan dengan pelaksanaan selama ini, manakah yang terbaik untuk dimplementasikan pada masa yang akan datang.

RANGKUMAN.
Permasalahan dalam Konsolidasi Tanah bukanlah permasalahan sengketa / perselisihan dalam ranah perdata atau pidana melainkan lebih mengarah pada kesulitan / problem, yang dan kerap terjadi dalam praktek di lapangan yang menghalangi kelancaran pelaksanaan kegiatan, sehingga penyelesaian program konsolidasi tanah tersendat - sendat,  berlarut – larut bahkan tidak tuntas.  

TEST FORMATIF.
1.
Dengan mengacu RUTR , teristimewa RDTR, RTR dan Rencana Prioritas Pembangunan Daerah, maka pemilihan lokasi Konsolidasi Tanah diarahkan pada wilayah sebagai berikut :

A.      Aksesibilitas lokasi.
B.       Wilayah yang direncanakan menjadi pemukiman baru dan Wilayah yang relatif kosong, bagian pinggiran kota yang diperkirakan akan   berkembang

C. Terdapat animo masyarakat yang besar.
D.  Keadaan topografi lokasi yang   cukup datar.



2.
Adapun faktor – faktor penentu kelayakan objek konsolidasi tanah diluar RUTR, antara lain :

A.      Tergantung kemauan masyarakat dan Kepala Desa untuk mengusulkan lokasi mereka sebagai objek Konsolidasi Tanah. 

B.       Minim aksesibilitas lokasi dan Keadaan topografi yang ekstrim serta berbukit - bukit.

   C.   Wlayah Pemukiman kumuh.
  D.   Aksesibilitas lokasi tersedia.



3.
Kegiatan penyuluhan merupakan salah satu bentuk komunikasi yang sering digunakan oleh Pemerintah untuk menyampaikan suatu pesan / informasi  kepada masyarakat, sebab :

A.      Dalam Penyuluhan, komunikasi yang digunakan adalah komunikasi dua arah, sehingga terjadi interaksi yang luas antara para komunikan.

B.       Dalam Penyuluhan komunikasi bersifat searah, sehingga memudahkan Pemerintah mengintimidasi masyarakat.


C.       Dalam Penyuluhan tidak diperlukan alat – alat bantu sebab penyuluhan merupakan kegiatan propaganda yang harus diterima tanpa bantahan.
D.      Dalam Penyuluhan responsi dari masyarakat tidak diperlukan, sebab masyarakat dianggap sudah memahami maksud Pemerintah.
 



4.
Hal – hal yang menyebabkan sulitnya mendapatkan persetujuan mayoritas dari Masyarakat pemilik tanah antara lain :


A.      Kesesuaian dengan RUTR, Wilayah yang direncanakan menjadi pemukiman baru, Kuantitas Pemilik tanah dan lokasi tanah
B.       Wilayah pertanian yang kurang sarana, aksesibilitas lokasi yang sulit, Keadaan topografi yang ekstrim.


C.       Wilayah pemukiman kumuh, Wilayah pemukiman yang mulai tumbuh, Wilayah yang relatif kosong.

D.   Kekurang pahaman Masyarakat, Keengganan Masyarakat menyumbangkan tanahnya untuk STUP,  Domisili pemilik tanah yang  tidak diketahui pasti.



5.
Dasar Hukum Operasional / Formal Administratif pelaksanaan kegiatan konsolidasi tanah di Indonesia, adalah :

A.      Undang – Undang No. 5 / 1960
   ( UUPA ).
B.       Peraturan Pemerintah No. 224 / 1961.

C.  Peraturan Kepala BPN No. 4 / 1991.
   D. Hukum Perikatan ( Buku III KUHPerdata / BW ).
Umpan Balik Tindak Lanjut.
Apabila dari test formatif ini, peserta pelatihan memperoleh nilai 80% ke atas benar, maka peserta pelatihan dapat melanjutkan ke bab berikutnya. Namun, apabila hasil yang diperoleh kurang dari 80%, peserta pelatihan sebaiknya mengulang kembali pada bab ini. Untuk mengetahui nilai, maka digunakan rumus sebagai berikut:

            Nilai  =     Jumlah Jawaban yang Benar    x 100%
                                         Jumlah Soal






















Text Box:  MODUL 2

PERMASALAHAN SELAMA PELAKSANAAN
KONSOLIDASI TANAH


Deskripsi  Singkat.
         Materi Permasalahan Selama Pelaksanaan Konsolidasi Tanah ini merupakan lanjutan dari mata pelatihan sebelumnya. Dalam Modul 2 ini, akan dibahas secara singkat mengenai permasalahan – permasalahan yang kerap muncul selama masa pelaksanaan kegiatan konsolidasi tanah yang  menjadi penghambat kelancaran pelaksanaan kegiatan.  Diharapkan apabila peserta latih telah mampu memahami Modul 1, maka selanjutnya dapat mempelajari Modul 2 ini.   
                    
Relevansi.
            Apabila peserta latih telah memahami permasalahan sebelum pelaksanaan kegiatan konsolidasi tanah, akan lebih mempermudah memahami materi Modul 2 ini, sebab permasalahan yang muncul merupakan rangkaian urutan permasalahan yang muncul dalam pelaksanaan kegiatan konsolidasi tanah.

Tujuan Instruksional Khusus ( TIK ). 
            Setelah mengikuti Modul 1 ini, para peserta Diklat mampu menjelaskan permasalahan yang terdapat selama masa pelaksanaan kegiatan konsolidasi tanah.
                                          
Uraian. 
            Adapun permasalahan-permasalahan yang ditemui selama masa pelaksanaan kegiatan konsolidasi tanah pada umumnya terdiri dari hal-hal, antara lain sebagai berikut  : 


2.1.   Keberatan Atas Pergeseran Tanah.
                    
          Salah satu hal yang menimbulkan masalah dalam penataan bidang – bidang tanah dalam konsolidasi adalah keengganan masyarakat untuk digeser dari tanah miliknya semula, sehingga agak menyulitkan petugas pelaksana, terutama desainer dalam memadukan keinginan pemilik tanah dengan kondisi ruang lokasi.

          2.1.1.     Makna Keberatan Atas Pergeseran Tanah.

                        Secara umum bagi masyarakat Indonesia, terutama pada masyarakat adat, tanah merupakan benda yang amat berharga, mereka lahir, hidup dan meninggal diatas tanah sehingga menimbulkan hubungan yang bersifat religio magis. Inilah satu faktor penyebab keberatan masyarakat untuk digeser dari tanah miliknya semula.

          2.1.2.     Pelaksanaan Pergeseran Tanah.

                                    Adapun konsep penataan dalam konsolidasi tanah  dilakukan melalui tindakan – tindakan seperti :

a.             Pemotongan / pengirisan bidang tanah;
b.             Penggeseran letak bidang tanah;
c.             Penggabungan bidang – bidang tanah;
d.            Pemisahan / pemecahan bidang tanah;
e.             Pertukaran bidang tanah;
f.              Pengubahan bentuk bidang tanah;
g.             Penghapusan bidang tanah.

                          Hasil tindakan penataan penataan seperti tersebut diatas tidak menutup kemungkinan terjadinya pergeseran bidang – bidang tanah milik peserta.

                          Dalam melakukan penataan bidang – bidang tanah yang disesuaikan dengan kondisi ruang lokasi sekaligus menampung keinginan masyarakat peserta agar tidak digeser dari tanah miliknya semula, dengan menekankan penataan berdasarkan salah satu azas penataan  : azas korespondensi,  yaitu tindakan penataan yang sejauh mungkin tidak menggeser masyarakat keluar dari bidang tanah semula.  Artinya penggeseran yang terjadi boleh – boleh saja, namun posisi pemilik tanah masih tetap dalam tanah semula,  akan tetapi jika hal tersebut tidak memungkinkan, pergeseran keluar diupayakan tidak jauh dari letak tanah semula.     

2.1.3.        Saran Penyelesaian.

            Guna mengatasi masalah keberatan atas pergeseran tanah, maka disarankan hal – hal sebagai berikut :

a.             Bagi para Desainer ( petugas penata ) penataan, dalam melakukan rencana penataan hendaknya berpegang pada prinsip – prinsip penataan konsolidasi tanah, salah satunya adalah azas korespondensi.

b.             Menyiapkan sikap masyarakat agar mereka tidak kaget  jikalau kemungkinan terjadi pergeseran tanah. Caranya melalui penjelasan panjang lebar tentang kegiatan penataan pada saat kegiatan penyuluhan.


2.2.   Pelepasan Hak.
Dalam pelaksanaan kegiatan konsolidasi tanah, pelepasan hak merupakan satu hal yang juga sering mengganggu / menghambat kelancaran kegiatan konsolidasi tanah dalam praktek keseharian, yang disebabkan oleh berbagai macam alasan.

         2.2.1.                    Makna Pelepasan Hak.
    Pelepasan Hak / Penyerahan Hak adalah kegiatan melepaskan hubungan hukum antara pemegang hak atas tanah dengan tanah yang dikuasainya dengan pemberian ganti kerugian atas dasar mustawarah ( Pasal 1 angka 3 Keputusan Menteri Negara Agraria / Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 21 / 1994 ).

Berdasarkan rumusan tersebut diatas, jelas bahwa pada prinsipnya Pelepasan Hak / Penyerahan Hak adalah pemutusan hubungan hukum antara pemilik tanah dengan tanahnya, sehingga tanah dimaksud statusnya menjadi tanah negara, yaitu tanah yang  dikuasai secara penuh oleh negara, sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 27, 34 dan 40 UUPA.

Ketentuan Pasal – pasal tersebut berlaku hanya untuk tanah – tanah yang statusnya sudah terdaftar / bersertifikat ( tanah yang dimiliki dengan berbagai jenis hak UUPA ).

Istilah Penyerahan Hak digunakan untuk tanah jenis Hak Milik ( HM ), sedangkan untuk tanah diluar Hak Milik, seperti Hak Guna Usaha           ( HGU ), Hak Guna Bangunan ( HGB ), Hak Pengelolaan ( HPL ) dan Hak Pakai ( HP ) dan lain – lain digunakan istilah Pelepasan Hak.

Sedangkan bagi tanah dengan status Tanah Bekas Milik Adat, pelepasan hak bermaksud pelepasan penguasaan fisik, bukan penghapusan status tanah milik adat menjadi  tanah negara.

          2.2.2.   Pelaksanaan Pelepasan Hak.
Pelepasan Hak dalam konsolidasi tanah bersifat  “sementara”, artinya tanah yang sudah dilepaskan oleh pemilik, setelah ditata akan diserahkan kembali kepada bekas pemilik semula, meskipun tidak tertutup kemungkinan bahwa tanah yang diperolehnya setelah dikonsolidasi mengalami pergeseran letak, perubahan luas dan bentuk.

Selanjutnya perbuatan Pelepasan Hak / Penyerahan Hak dilaksanakan oleh pemegang hak atas tanah yang bersangkutan atau Kuasanya, dengan Surat Pernyataan melepaskan / menyerahkan tanahnya  dihadapan Kepala Kantor Pertanahan setempat ( Pasal 13 ayat 1 Keputusan Menteri Negara Agraria / Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 21 / 1994 ).  

      Adapun maksud pelepasan hak adalah untuk menjadikan status   tanahnya menjadi tanah negara ( bagi tanah yang statusnya adalah tanah milik / sudah terdaftar / telah bersertifikat ), yaitu tanah yang dikuasai secara penuh oleh negara,  sedangkan bagi tanah milik adat bermaksud sebagai pelepasan penguasaan fisik saja tanpa mengubah statusnya menjadi tanah negara,  sehingga Pemerintah ( unsur pelaksana kekuasaan Negara ) dapat lebih leluasa dalam melakukan penataan atas bidang tanah dimaksud , melaui serangkaian tindakan fisik dan yuridis,  seperti :

a.       Merubah batas – batas tanah,
b.      Merubah luas tanah,
c.       Merubah letak tanah,
d.       Menghapuskan atau  memunculkan bidang tanah baru,
e.       Merubah penggunaan tanah,
f.       Menggabungkan / memisahkan bidang tanah,
g.       Memberikan hak baru atas tanah dimaksud.

Tanpa adanya pelepasan hak / penyerahan hak, maka tindakan pemerintah untuk melakukan penataan atas tanah milik masyarakat sebagaimana tersebut diatas, akan mendatangkan kesulitan bagi pemerintah sendiri, sebab sekalipun Negara adalah penguasa tertinggi atas tanah, namun terhadap tanah – tanah yang sudah dihaki oleh masyarakat, kekuasaan Negara / Pemerintah menjadi terbatas, dibatasi oleh hak yang telah diberikan kepada pemegang hak, sehingga tak tertutup kemungkinan Pemerintah akan menghadapi tuntutan :

a.        Tuntutan Pidana, Negara melalui Kitab Undang – Undang Hukum Pidana ( KUHP ) memberikan jaminan perlindungan atas kepemilikan tanah dari tindakan pidana dari siapapun.

b.    Tuntutan Perdata,   Negara melalui Kitab Undang – Undang Hukum Perdata ( KUHP ) memberikan jaminan perlindungan atas kepemilikan tanah dari tindakan perdata yang merugikan dari siapapun.

Sehingga demi tertib hukum, mau tidak mau, sebelum Pemerintah melakukan tindakan penataan, pelepasan hak / penyerahan hak terlebih dahulu harus dilakukan.
             
Dalam pelaksanaan kegiatan konsolidasi tanah, pelepasan hak merupakan satu hal yang juga sering mengganggu / menghambat kelancaran kegiatan konsolidasi tanah dalam praktek keseharian, akibat ketidak lancaran pelaksanaan pelepasan hak oleh para pemilik tanah.  Hal ini terjadi karena disebabkan oleh beberapa hal, antara lain seperti : 

a.       Pemegang hak yang sebenarnya tidak jelas ( Boedel yang belum terbagi ).
b.      Bidang tanah yang akan dilepaskan sementara dalam proses sengketa.
c.       Bidang tanah yang akan dilepaskan sementara dalam ikatan / dibebani oleh Hak Tanggungan.
d.      Pemegang hak yang sebenarnya tidak
          diketahui domisilinya.
e.       Pernyataan Pelepasan Hak dibuat kolektif sehingga mengaburkan objek yang dilepaskan.

2.2.3.   Saran Penyelesaian.
Guna mengatasi permasalahan pelepasan hak dalam konsolidasi disarankan hal – hal sebagai berikut  :

a.             Berdasarkan Pasal 27, 34, 40 UUPA, maka kata – kata yang terdapat pada kepala surat pernyataan, hendaknya disesuaikan, menjadi seperti :
1.        Untuk melepaskan Hak MilikSurat Pernyataan Penyerahan  Hak.
2.        Untuk melepaskan hak non hak milik ( seperti HGU, HGB, HPL, HP dll )  :  Surat Pernyataan Pelepasan Hak.  

         b.    Guna menghindari kekaburan subjek dan objek dalam pelepasan hak, hendaknya Surat Pelepasan Hak diusahakan dibuat perorangan ( tidak kolektif ).
                         
c.   Terhadap Tanah Boedel yang belum terbagi, pelepasan haknya dilakukan oleh semua ahli waris, atau oleh seorang bertindak untuk diri sendiri dan ahli waris lainnya dengan dilampiri Surat Kuasa dari ahli aris lainnya.
  
2.3.   Penerbitan Hak.
Masalah - masalah yang muncul dalam pelaksanaan konsolidasi tanah yang berhubungan dengan penerbitan hak ialah :

a.         Kantor Pertanahan Kabupaten / Kota menerbitkan hak atas tanah objek konsolidasi dengan status Tanah Bekas Milik Adat melalui  lembaga Pemberian Hak. Padahal sesuai dengan ketentuan yang berlaku, penerbitan hak atas Tanah Bekas Milik Adat melalui lembaga Konversi.    

b.        Masih ada Kantor Pertanahan Kabupaten / Kota yang menerbitkan hak atas tanah pertanian objek konsolidasi melalui lembaga PP No. 224 / 1961. Padahal sesuai ketentuan Peraturan Mentari Negara Agraria / Kepala BPN No. 3 / 1999, Penerbitan hak kegiatan konsolidasi tanah diproses melalui lembaga Pemberian hak.

           2.3.1.    Makna Penerbitan Hak. 
            Proses penerbitan hak atas tanah terdiri dari Lembaga Pemberian Hak, untuk menerbitkan hak atas tanah yang statusnya tanah negara, dan Lembaga Konversi untuk menerbitkan hak atas tanah yang statusnya tanah bekas milik adat,  sebagaimana  berikut ini :
2.3.1.1.    Pemberian Hak.
                 Pemberian Hak atas tanah adalah penetapan Pemerintah yang memberikan sesuatu hak atas tanah negara, termasuk perpanjangan jangka waktu hak dan pembaharuan hak ( Pasal 1 angka 5 Peraturan Menteri Negara Agraria / Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1999 ).      

2.3.1.2.         Konversi Hak.
Konversi adalah penerbitan hak atas tanah bekas milik adat sebagaimana yang dimaksud dalam pasal – pasal konversi UUPA, Pasal 24 s/d 28 PP No. 24 / 1997, Pasal 88 PMNA / KBPN No. 3 / 1997.

           2.3.2.    Pelaksanaan Penerbitan Hak.
2.3.2.1.    Pemberian Hak.
                 Lembaga pemberian hak diatur dengan Peraturan Menteri Negara Agraria / Kepala Badan Pertanahan Nasional  ( PMNA / KBPN ) No 3 / 1999 tentang Pelimpahan Kewenangan Pemberian Dan Pembatalan Keputusan Pemberian Hak Atas Tanah Negara, yang berisi kewenangan pemberian dan pembatalan hak, dengan ketentuan sebagai berikut :

a.        Kewenangan pemberian hak
                            Kewenangan pemberian hak adalah kewenangan untuk menerbitkan surat keputusan pemberian hak atas tanah negara, yang terbagi seperti berikut ini :  
                        1.   Kepala Kantor Pertanahan Kab / Kota :
                                  a).   Hak Milik  ( HM )  :
                              1).    Atas  Tanah Pertanian, luas tanah
                                      tidak   melebihi  2 Ha.
                              2).    Atas   Tanah Non Pertanian
                                       luas  tanah  tidak melebihi  2000 M2.

                                       3).   Hak Guna Bangunan ( HGB )  :
                                               a.a).   Atas Tanah Non Pertanian,
                                                         luas tanah  tidak  melebihi 2000 M2.
a.b).  Semua HGB diatas Hak Pengelolaan.

                                       4).   Hak Pakai  ( HP ) :
                                              a.a).    Atas  Tanah Pertanian,
                                                         luas tanah tidak melebihi  2 Ha.
                                              a.b).    Atas Tanah Non Pertanian,
                                                         luas tanah tidak melebihi 2000 M2,
                                                         kecuali bekas HGU.

                                       5).    Semua pemberian Hak Pakai
                                               diatas  Hak Pengelolaan.

                                       6).     Perubahan Hak  :
                                                       Semua perubahan hak atas tanah,
                                                        kecuali perubahan HGU menjadi hak lain.
                                         
                       2.    Kepala Kantor Wilayah BPN Provinsi.
                               a).     Hak Milik  ( HM )  :
                                      1).    Atas  Tanah Pertanian,
                                              luas tanah   diatas 2 Ha.
                                                                2).    Atas Tanah Non Pertanian,
                                                                         luas tanah  tidak melebihi  5000 M2.

                               b).    Hak Guna Usaha  ( HGU ) :
                                      Atas Tanah Pertanian,
                                       luas tanah  tidak melebihi 200 Ha.

                              c).    Hak  Guna  Bangunan  ( HGB ) :
                                      Atas Tanah Non Pertanian,
                                      luas  tanah tidak melebihi  150. 000 M2.

                             d).    Hak  Pakai  ( HP )   :
                                   1).   Atas Tanah Pertanian,
                                           luas tanah  diatas 2 Ha.
                                     2).   Atas Tanah Non Pertanian,
                                             luas tanah tidak melebihi  150. 000 M2.

                                         e).    Pembatalan Hak  :
                                                 1). Pembatalan atas SK Pemberian Hak yang       diterbitkan Kepala Kantor Pertanahan Kab / Kota yang mengandung cacad hukum ( administrasi ).

                                                 2). Pembatalan atas SK Pemberian Hak yang  diterbitkan Kepala Kantor Pertanahan Kab / Kota dan Kepala Kantor Wilayah BPN Provinsi dalam rangka melaksanakan putusan peradilan yang inkacht. 
                                        
  3).   Menteri Negara Agraria / Kepala BPN.
                                        a).  Memberi keputusan mengenai pemberian dan pembatalan hak, yang kewenangannya tidak dilimpahkan ke daerah.

b).  Memberi keputusan mengenai pemberian dan pembatalan hak, yang kewenangannya telah dilimpahkan ke daerah,  namun menurut laporan Kanwil hal tersebut diperlukan berdasarkan keadaan di lapangan.



2.3.2.2.    Konversi  Hak.
Lembaga Konversi Hak, sebagaimana disebut dalam Undang - Undang No. 5 / 1960, selanjutnya diatur secara rinci melalui Peraturan Pemerintah No. 24 / 1997  jo. Peraturan Menteri Negara Agraria / Kepala BPN No. 3 / 1997, yang anatara lain berisi tata cara penerbitan hak / sertifikat,  untuk tanah – tanah bekas milik adat, sebagaimana berikut ini  :

a.        Data fisik dan yuridis bidang tanah yang telah diperiksa kebenarannya oleh Tim yang berkompeten ( Panitia A /  Tim Pemeriksa / Konstatering Rapport / Panitia Ajudikasi /  SATGAS KT / dll ) selanjutnya oleh Kantor Pertanahan Kabupaten / Kota di umumkan selama 60 hari ( 2 bulan ) di Kantor Kelurahan / Desa letak tanah yang bersangkutan dan kantor Pertanahan Kabupaten / Kota yang bersangkutan, agar masyarakat / yang berkepentingan memiliki kesempatan untuk mengajukan keberatan atas permohonan hak atas tanah dimaksud.

                            b.  Setelah jangka waktu pengumuman dimaksud berakhir,  Data Fisik dan Yuridis tersebut diatas, disahkan  oleh Kepala Kantor Pertanahan dengan Berita Acara Pengesahan Data Fisik dan Data Yuridis.

c.         Pada saat pengesahan data fisik dan yuridis, apabila masih terdapat kekuranglengkapan data / keberatan yang belum terselesaikan, maka pengesahan dimaksud diberikan catatan mengenai hal tersebut.

d.  Berdasarkan Berita Acara Pengesahan Data Fisik dan Yuridis, Kepala Kantor Pertanahan memberikan catatan pada Daftar Isian 201, sebagai berikut  :

1.    Untuk bidang tanah, yang alat buktinya lengkap /  tidak lengkap namun ada keterangan kesaksian dan pernyataan, ditegaskan konversinya menjadi Hak Milik atas nama pemegang terakhir ( Pemohon ).

Contoh pencatatan : 
Berdasarkan data fisik dan data yuridis yang disahkan dengan Berita Acara Pengesahan Data Fisik dan Data Yuridis tanggal  ...............  , hak atas tanah ini ditegaskan konversinya menjadi Hak Milik dengan Pemegang hak ........... tanpa catatan / dengan catatan adanya keberatan ...............................

           Kepala Kantor Pertanahan .....................
                      ( ............................................. )          

2.       Untuk bidang tanah, yang tidak memiliki alat bukti namun dapat dibiktikan penguasaannya selama 20 tahun, diakui konversinya menjadi Hak Milik atas nama pemohon.

Contoh pencatatan : 
Berdasarkan data fisik dan data yuridis yang disahkan dengan Berita Acara Pengesahan Data Fisik dan Data Yuridis tanggal  ...............  , hak atas tanah ini diakui konversinya menjadi Hak Milik dengan Pemegang hak ........... tanpa catatan / dengan catatan adanya keberatan ...............................

           Kepala Kantor Pertanahan .....................
                      ( ............................................. )


                3.    Untuk pengakuan hak sebagaimana dimaksud 4 b tersebut diatas, tidak perlu diterbitkan suarat keputusan pengakuan hak.

               4.        Selanjutnya hak milik hasil penegasan / pengakuan hak sebagaimana tersebut diatas dibukukan dalam buku tanah dan dibuatkan salinannya ( sertifikat ) untuk diserahkan kepada Pemegang hak atas tanah.

            2.3.3.   Saran Penyelesaian. 
            Berdasarkan permasalahan yang muncul dalam pelaksanaan konsolidasi tanah yang berkaitan dengan penerbitan hak, maka      BPN Pusat hendaknya mengeluarkan edaran yang   ditujukan ke Daerah yang menginstruksikan :

a.             Agar proses Penerbitan Hak dalam konsolidasi tanah,  untuk  Tanah Negara diproses melalui Lembaga Pemberian Hak, sedangkan untuk Tanah Bekas Milik Adat penerbitan haknya diproses melalui Lembaga Konversi (  Penegasan / Pengakuan Hak ).

b.            Agar proses Pemberian Hak dalam konsolidasi tanah, baik atas Tanah Pertanian maupun atas Tanah Non Pertanian semua pemberian haknya diproses melalui lembaga Pemberian Hak, yaitu Peraturan Menteri Negara Agraria / Kepala Badan Pertanahan Nasional ( PMNA / KBPN ) Nomor  3 / 1999 dan Nomor  9 / 1999.


2.4.   BPHTB ( Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan ).
Masalah krusial yang muncul dalam pelaksanaan kegiatan konsolidasi tanah yang berhubungan dengan BPHTB (  Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan ) adalah keengganan masyarakat peserta untuk membayar BPHTB, dengan alasan bahwa : mereka telah mengikuti program kebijakan Pemerintah dan sudah berkorban dengan menyumbangkan sebagaian tanah miliknya untuk pembangunan kepentingan umum dan sosial.

         2.4.1.     Makna BPHTB.
Yang dimaksud dengan BPHTB atau  Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan adalah pajak yang dikenakan atas dan atau bangunan yang selanjutnya disebut pajak ( Pasal 1 angka 1 Undang – Undang Nomor 20 / 2000 ).

Dan selanjutnya yang dimaksud dengan perolehan hak atas tanah dan atau bangunan adalah perbuatan atau peristiwa hukum yang mengakibatkan diperolehnya hak atas tanah dan atau bangunan oleh orang  pribadi atau badan ( Pasal 1 angka 2 Undang – Undang Nomor 20 / 2000 ).

         2.4.2.      Pelaksanaan BPHTB.

2.4.2.1     Objek BPHTB.
Menurut Pasal 2 ayat (1) dan (2) Undang – Undang Nomor 20 / 2000,  bahwa yang menjadi objek pajak  BPHTB adalah semua perolehan hak atas tanah dan atau bangunan,  yang meliputi :

        a.     Pemindahan Hak, karena  :  
1.             Jual – Beli ;
2.             Tukar – menukar ;
3.             Hibah ;
4.             Hibah – wasiat ;
5.             Waris ;
6.             Pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya ( Imbreng ) ;
7.             Pemisahan Hak yang mengakibatkan peralihan ;
8.             Penunjukan Pembeli dalam lelang ;
9.             Pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap ;
10.         Penggabungan usaha ;
11.         Peleburan usaha ;
12.         Pemekaran usaha ;
13.         Hadiah ;

                            b.      Pemberian Hak Baru, karena :     
1.             Kelanjutan Pelepasan Hak;
2.             Diluar Pelepasan Hak.

           2.4.2.2.     Bebas BPHTB.
Sedangkan Objek Pajak yang dibebaskan dari BPHTB  menurut Pasal 3 Undang – Undang Nomor 20 / 2000 adalah Objek Pajak yang diperoleh ;

a.   Perwakilan Diplomatik, Konsulat berdasarkan azas timbal balik.
b.  Negara untuk penyelenggaraan pemerintahan dan atau untuk pelaksanaan pembangunan guna kepentingan umum.
c.  Badan atau perwakilan organisasi internasional yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri dengan syarat tidak menjalankan usaha atau melekukan kegiatan lain diluar fungsi dan tugas badan atau perwakilan organisasi tersebut.
d.             Orang pribadi / Badan karena konversi hak, atau karena perbuatan hukum lain dengan tidak adanya perubahan nama;
e.             Orang pribadi atau Badan karena Wakaf;
f.              Orang pribadi atau Badan yang digunakan untuk kepentingan ibadah.

2.4.2.3.                                           Tarif BPHTB.
Adapun Tarif BPHTB ditetapkan sebesar 5 % ( Pasal 5 Undang – Undang Nomor 21 / 1997 ) dari Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak ( NPOPTKP ).
Sedangkan batas NPOPTKP ditetapkan secara regional  paling banyak Rp. 60.000.000.- , kecuali Waris satu derajat sebesar Rp. 300.000.000. ( Pasal 7 UU No. 20 / 2000 ).

Sehingga Rumusannya adalah =  5 %  ×  (  NPOP /Nilai Perolehan Objek Pajak -  NPOPTKP / Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak ).

Adapun batas NPOPTKP sebesar Rp. 60.000.000 / 300.000.000,-  dalam praktek, hanya berlaku di DKI Jakarta saja, sedangkan daerah diluar DKI Jakarta besarnya ditetapkan dengan Surat Keputusan Menteri Keuangan.  

2.4.2.4.         Reduksi BPHTB.
Bagi masyarakat yang merasa keberatan untuk membayar BPHTB, diberikan kesempatan untuk mengajukan permohonan pengurangan ( reduksi ), sebagaimana ditetapkan dalam Surat Keputusan Menteri Keuangan RI (  setiap tahun diperbaharui ), yang antara lain berisi :

Bagi Pemberian Hak yang diproses melalui Program Pemerintah ( salah satunya Konsolidasi Tanah ) diberikan potongan sebesar  75 %  dari Pajak Terutang.   

2.4.3      Saran Penyelesaian.
            Untuk permasalahan pelaksanaan Konsolidasi Tanah yang berkaitan dengan BPHTB, disarankan hal – hal sebagai berikut:

a.             BPN Pusat hendaknya membuat Permohonan Pengurangan BPHTB sebesar 100 % atau setidak – tidaknya 75 %,  kepada DIRJEND Pajak Departemen Keuangan RI, yang antara lain menjelaskan bahwa Konsolidasi Tanah adalah salah satu Program Kebijakan Pemerintah di Bidang Pertanahan yang dalam pelaksanaannya menuntut pengorbanan masyarakat untuk menyumbangkan sebagian tanah miliknya yang akan digunakan untuk lokasi kpentingan umum dan sosial ( FASUM / FASOS ).

b.             Kanwil BPN Provinsi / Kantor Pertanahan Kab / Kota juga membantu masyarakat untuk memohonkan reduksi BPHTB untuk masyarakat ke Kanwil Pelayanan Pajak Provinsi / Kantor Pelayanan Pajak Kab / Kota.
 





LATIHAN.
Diskusikanlah secara berkelompok.
Perihal :    Pelaksanaan Konsolidasi Tanah Atas Tanah Bekas Milik Adat  “. 
Dalam praktek pelaksanaan Konsolidasi Tanah selama ini di daerah,  atas lokasi tanah bekas milik adat, penerbitan haknya diproses melalui Pemberian Hak, sehingga Penerima Hak dikenakan BPHTB. Sudah tepatkah langkah tersebut, ataukah bertentangan dengan ketentuan yang berlaku ?.
Kuncinya dalami kembali :
a.                   Pasal 3 dan 5 UUPA;
b.                  Pasal 27, 34, 40 UUPA;
c.                   Pasal – pasal konversi PP 24 / 1997 dan Permen Agraria / Kepala BPN No. 3 / 1997.
d.                  Pasal 3 UU No. 20 / 2000.


RANGKUMAN.
Permasalahan yang muncul pada saat pelaksanaan kegiatan Konsolidasi Tanah antara lain : Adanya keberatan dari masyarakat peserta untuk digeser keluar dari tanah miliknya semula,  tertundanya pelaksanaan penandatanganan Surat Pernyataan Pelepasan Hak akibat ketidakjelasan domisili pemilik tanah, serta Penerbitan Hak yang mengakibatkan pengenaan objek BPHTB.
 
TEST FORMATIF.
1.
Salah satu azas penataan dalam KonsolidasiTanah adalah azas korespondensi, yang menganjurkan penataan melalui prinsip :

A.      Memaksimalkan efisiensi letak prasarana umum dan sosial lainnya.
B.       Meminimalisir penyediaan kapling – kapling matang sebagai lokasi TPBP.

C.   Memaksimalkan penyediaan kapling – kapling matang sebagai lokasi TPBP.
D.    Meminimalisir pergeseran letak tanah dari tanah milik semula.



2.
Lembaga Pelepasan Hak / Penyerahan Hak yang dilaksanakan dalam konsolidasi tanah, pada prinsipnya memutuskan hubungan hukum antara Pemilik dengan tanahnya sehingga :

A.      Tanahnya jatuh ke Negara agar  Negara cq Pemerintah leluasa   melakukan kegiatan penataan.

B.       Tanahnya menjadi tanah milik Negara agar Negara cq Pemerintah leluasa melakukan kegiatan penataan.

   C. Tanahnya jatuh ke Pemerintah agar Pemerintah leluasa melakukan kegiatan penataan.
   D.   Tanahnya menjadi milik Pemerintah agar Pemerintah leluasa melakukan kegiatan penataan.



3.
Penerbitan hak atas tanah – tanah pertanian maupun tanah – tanah non pertanian ( pekarangan ) yang statusnya Tanah Negara, dalam konsolidasi tanah, pemberian haknya diproses melalui lembaga :

A.      Peraturan Pemerintah No. 224 / 1961.

B.       Peraturan Menteri Negara Agraria / Kepala BPN No. 3 / 1999 & No. 9 / 1999.

C.       Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 6 / 1972 &  No. 5 /1973.
   D.  Peraturan Pemerintah No.   46 / 2002.




4.
Sedangkan penerbitan hak yang status tanahnya bekas tanah milik adat, dalam Konsolidasi Tanah, diproses melalui :

A.    Lembaga Perubahan Hak            PMNA / KBPN No. 9 / 1999.
B.       Lembaga Pemberian Hak PMNA / KBPN No. 3 / 1999.

C.       Lembaga Konversi PP No. 24 / 1997 jo. PMNA / KBPN No. 3 / 1997.
D.    Lembaga Redistribusi PP No 224 / 1961.




5.
Bahwa dalam rangka pemberian hak baru atas tanah dan bangunan, yang merupakan objek Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan ( BPHTB ) adalah semua kegiatan : Pemberian Hak atas tanah negara, karena Kelanjutan pelepasan hak dan Diluar pelepasan hak, kecuali :

A.      Pemisahan hak yang mrengakibatkan peralihan hak.
B.       Pelaksanaan putusan Hakim yang telah berkekuatan hukum tetap.

C.       Imbreng ( Pemasukan asset kedalam perusahaan ).

   D. Orang ( Pribadi ) atau Badan Hukum karena konversi hak atau karena perbuatan hukum lain dengan tidak adanya perubahan nama.





Umpan Balik Tindak Lanjut.
Apabila dari test formatif ini, peserta pelatihan memperoleh nilai 80% ke atas benar, maka peserta pelatihan dapat melanjutkan ke bab berikutnya. Namun, apabila hasil yang diperoleh kurang dari 80%, peserta pelatihan sebaiknya mengulang kembali pada bab ini. Untuk mengetahui nilai, maka digunakan rumus sebagai berikut:

            Nilai  =     Jumlah Jawaban yang Benar    x 100%
                                         Jumlah Soal

















Text Box: MODUL  3




PERMASALAHAN SETELAH PELAKSANAAN  KONSOLIDASI TANAH


Deskripsi  Singkat.
           Materi Permasalahan Setelah Pelaksanaan Konsolidasi Tanah ini merupakan lanjutan dari mata pelatihan Modul 2. Dalam Modul 3 ini, akan dibahas secara singkat mengenai permasalahan – permasalahan yang muncul setelah masa pelaksanaan kegiatan konsolidasi tanah.  Konsolidasi Tanah dapat dikatakan berhasil jika rangkaian akhirnya yaitu terbangunnya Sarana dan Prasarana Umum ( FASUM / FASOS ) berupa Jalan, Saluran pembuangan air ( got ) dan lain sebagainya. Namun dalam praktek terkadang hal ini tidak berlanjut, sehingga mengurangi nilai keberhasilan konsolidasi tanah. Diharapkan apabila peserta latih telah mampu memahami Modul 1 dan Modul 2,  maka selanjutnya dapat mempelajari Modul 3 ini.   
                    
Relevansi.
            Apabila peserta latih telah memahami permasalahan selama pelaksanaan kegiatan konsolidasi tanah, akan lebih mempermudah memahami materi Modul 3 ini, sebab permasalahan yang muncul merupakan rangkaian urutan permasalahan yang muncul dalam pelaksanaan kegiatan konsolidasi tanah, mulai dari sebelum pelaksanaan, masa pelaksanaan dan setelah pelaksanaan kegiatan konsolidasi tanah.

Tujuan Instruksional Khusus ( TIK ). 
            Setelah mengikuti Modul 1 ini, para peserta Diklat mampu menjelaskan permasalahan yang terdapat setelah pelaksanaan kegiatan konsolidasi tanah.

                                          
Uraian. 
          Adapun permasalahan – permasalahan yang muncul dalam pasca pelaksanaan kegiatan Konsolidasi Tanah antara lain adalah  :

3.1.    Pengelolaan Dana TPBP.
Sebelum tahun 2004, Sistem pengelelolaan keuangan Pemerintah menggunakan Sistem DURK, dimana dana yang diterima oleh Bendaharawan Penerima dapat dipergunakan secara langsung.  Namun setelah tahun 2004,  sistim Pengelolaan DURK berubah menjadi sistem Pengelolaan DIK/ DIKS / DIPA, dimana dana yang diterima oleh Bandaharawan Penerima tidak dapat dipergunakan secara langsung,  melainkan disetor terlebih dahulu ke Kas Negara, setelah itu dapat dimintakan kembali untuk dipergunakan.

3.1.1.     Makna Dana TPBP.
              Salah satu ciri khas Konsolidasi Tanah adalah Masyarakat peserta menyumbangkan sebagian kecil tanah miliknya sebagai Sumbangan Tanah Untuk Pembangunan  ( STUP ).
   Jumlah total tanah STUP, sebagian akan dipakai sebagai prasarana : jalan, got, serta fasilitas umum dan sosial lainnya.  Sedangkan sebagian dijadikan Tanah Pengganti Biaya Pelaksaan ( TPBP ),  yaitu kapling matang siap bangun yang akan diserahkan kepada Peserta yang memiliki tanah kecil atau kepada Pihak lain dengan membayar sejumlah uang sebagai kompensasinya ( yang akan dipakai sebagai biaya pembangunan / pelaksanaan kegiatan konsolidasi tanah ) besarannya ditentukan oleh para peserta konsolidasi tanah.  Dana kompensasi TPBP inilah yang dikenal dangan istilah Dana TPBP.
3.1.2.     Pelaksanaan TPBP.              
   Dalam rangka pelaksanaan penataan penguasaan dan penggunaan tanah objek konsolidasi tanah, para peserta menyumbangkan sebagian kecil tanah miliknya untuk pembangunan fasilitas umum dan sosial lainnya.  Besarnya STUP ditetapkan berdasarkan kesepakatan bersama para peserta dengan mengaju kepada Rencana Tata Ruang Daerah.
   Tanah STUP, sebagian dijadikan lokasi pembangunan fasilitas umum dan sosial ( Fasos / Fasum ), sebagian lagi dijadikan TPBP, yang akan diserahkan kepada peserta yang tanahnya kecil atau pihak lain, dengan membayar biaya kompensasi yang besarannya ditentukan oleh masyarakat peserta   konsolidasi tanah.  Selanjutnya Dana TPBP ini akan   dipergunakan untuk membiayai pembangunan Fasum  / Fasos dan atau untuk membiayai pelaksanaan kegiatan konsolidasi tanah.
   Dana hasil penyerahan TPBP diterima dan dikelola oleh Bendaharawan Khusus Penerima Kantor Pertanahan Kabuaten / Kota setempat dan merupakan Penerimaan Negara yang dapat dipergunakan secara langsung untuk pembiayaan pelaksanaan konsolidasi tanah berdasarkan Daftar Rencana Kegiatan Konsolidasi Tanah ( DRKK ) yang disetujui oleh Kepala Badan Pertanahan Nasional  ( Pasal 7 ayat (5) Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 4 / 1991 ).
  Oleh Bendaharawan Khusus Penerima, Dana TPBP dimaksud disimpan dalam rekening Bank Pemerintah dan selanjutnya dibukukan dalam Buku Kas Umum ( BKU ) serta Buku Pembantu Konsolidasi Tanah.   Pertanggungjawaban atas pengelolaan Dana Konsolidasi Tanah disampaikan secara bulanan oleh Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten / Kota kepada Kepala BPN dengan tembusan Kanwil BPN Provinsi ( Pasal 7 ayat ( 6 dan 7 Peraturan Kepala BPN No. 4 / 1991 ).
Namun sejak tahun 2004, dengan berlakunya Sistim Pengelolaan DIK / DIKS / DIPA, pengelolaan Dana TPBP menjadi bermasalah, sebab Prinsip Pengelolaan DIK / DIKS / DIPA menegaskan bahwa semua penerimaan Kantor Pemerintah karena pelayanan yang diberikan adalah merupakan Penerimaan Negara ( PNBP / Penerimaan Negara Bukan Pajak ), yang tidak dapat dipergunakan secara langsung, melainkan disetor terlebih dahulu ke Kas Negara, baru kemudian dicairkan sesuai POK.
Sedangkan pada sisi yang lain Dana TPBP bukanlah Dana PNBP,  melainkan dana masyarakat peserta Konsolidasi Tanah yang akan dipakai untuk biaya pembangunan fasilitas umum dan sosial.
3.1.3.     Saran Penyelesaian.
   Agar pengelolaan Dana TPBP menjadi jelas, disarankan hal – hal sebagai berikut :
a.             BPN Pusat hendaknya mengkonsultasikan masalah ini ke Drjend Anggaran Departemen Keuangan RI agar pengelolaan dan statusnya dirumuskan kembal.
b.             Berhubung pengelolaan Dana TPBP belum jelas, maka agar pelaksanaan kegiatan Konsolidasi Tanah tidak terhambat, hendaknya Dana TPBP dititipkan sementara pada Bendahara Pengguna ( bukan Bendahara Penerima ) Kantor Pertanahan Kabupaten / Kota setempat. 

3.2.     Pembangunan Fisik FASUM / FASOS.
Pembangunan fisik prasarana jalan serta fasilitas umum dan sosial lainnya adalah merupakan kegiatan akhir dari rangkaian tahapan pelaksanaan kegiatan konsolidasi tanah
3.2.1.     Makna Pembangunan Fisik Fasum / Fasos.
                          Ciri khas utama Konsolidasi Tanah adalah tersedianya sarana dan prasarana pokok seperti : jalan dan got saluran air, serta fasilitas umum dan sosial lainnya.  Kegiatan Konsolidasi Tanah dapat dikatakan berhasil jika sarana prasarana fasum / fasos telah terbangun secara fisik. 
Pengalaman dibeberapa daerah menunjukkan bahwa konsolidasi tanpa diikuti oleh pembangunan fisik fasilitas umum dan sosial  memicu kerawanan, sebab para bekas pemilik lama akan kembali menggarap lokasi – lokasi fasum / fasos yang tidak terbangun.
3.2.2.           Pelaksanaan Pembangunan Fisik Fasum / Fasos.
Tahap akhir konsolidasi tanah adalah pembangunan fisik fasilitas umum dan sosial lainnya yang dibiayai dari dana kompensasi TPBP. Akan tetapi kegiatan pembangunan fisik prasarana dan sarana  umum dan sosial lainnya menimbulkan masalah seperti :
a.              Kegiatan pembangunan fisik bukanlah Tupoksi BPN, melainkan Tupoksi Instansi Pemerintah lainnya, seperti Dinas Pekerjaan Umum Pemda.
b.             Dana kompensasi TPBP terlalu kecil untuk dapat menutupi biaya pembangunan sarana dan prasarana fasilitas umum dan sosial.  Selain itu dana kompensasi TPBP tidak tersedia secara langsung pada saat itu, melainkan menunggu sekian lama hingga lokasi TPBP ada yang meminati dan membayar biaya kompensasi dimaksud.

   3.2.3.    Saran Penyelesaian.
                 Agar masalah pembangunan fisik Fasum / Fasos tidak menjadi polemik yang berlarut – larut, maka disarankan hal – hal sebagai berikut :
a.              Seluruh sarana dan prasarana fasilitas umum dan sosial lainnya agar disertifikatkan atas nama Pemerintah Daerah Kabupaten / Kota  setempat dan diserah terimakan ke Pemda setempat.
b.             Sambil menunggu kebijakan dari Menteri Keuangan, sebaiknya Dana Kompensasi TPBP untuk sementara dititipkan di Kas Daerah Kabpaten / Kota setempat.






























LATIHAN.
Diskusikanlah secara berkelompok, mengenai Keinginan Masyarakat Peserta Konsolidasi Tanah membentuk Organisasi guna mengelola pembangunan dan pemeliharaan sarana prasarana Fasum / Fasos lainnya untuk kepentingan mereka semua, Dapatkah keinginan mereka direalisir sesuai kondisi kontekstual serta ketentuan yang berlaku ?.


RANGKUMAN.
Permasalahan pasca Konsolidasi Tanah adalah :
a.                  Sejak tahun 2004 dengan terjadinya perubahan pengelolaan keuangan negara dari Sistim DURK menjadi Sistim DIK / DIKS / DIPA, pengelolaan Dana TPBP menjadi masalah yang cukup pelik.
b.                  Pembangunan / konstruksi sarana prasarana Fasum / Fasos banyak yang tidak ditindak lanjuti karena bukan tupoksi BPN serta Dana TPBP tidak mengkover biaya pembangunan.
  
TEST FORMATIF.
1.
Dana pembangunan fisik lokasi Fasilitas umum / Fasilitas Sosial pada prinsipnya, sumber utamanya sebagian berasal dari   :

A.     Dana APBN.

B.      Dana APBD.


C.       Iuran Masyarakat Peserta konsolidasi tanah.
D.     Dana hasil pengalihan TPBP.



2.
Pengelolaan Uang yang diterima dari Masyarakat dalam rangka pelayanan umum, sejak berlakunya Sistim Pengelolaan Keuangan Negara model DIPA, pada prinsipnya :

A.      Dapat dipergunakan secara langsung.

B.       Disimpan dalam rekening atas nama Bendaharawan pada Bank Pemerintah.


C.       Disetorkan ke Kas Negara untuk dicairkan kemudian.
D.      Disetorkan ke Kas Daerah untuk dicairkan kemudian.



3.
Sebelum tahun 2004, Sistim pengelolaan keuangan Negara masih menggunakan sistim DURK, dimana semua biaya yang diterima dari masyarakat karena pelayanan pada prinsipnya :

A.      Disimpan dalam rekening atas nama pribadi  Bendaharawan pada Bank Swasta.

B.       Dapat dipergunakan secara langsung.


C.       Disetorkan ke Kas Daerah untuk dicairkan kemudian.
D.      Disetorkan ke Kas Negara untuk dicairkan kemudian.



4.
Pelaksanaan pembangunan fisik lokasi Fasilitas Sosial / Fasilitas Umum pada prinsipnya dilaksanakan oleh :

A.     Tim Koordinasi Kabupaten / Kota.
B.       Kantor Pertanahan Kabupaten / Kota.

C.      Kanwil BPN Provinsi.

D.       Masyarakat Peserta konsolidasi tanah.



5.
Sesuai Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 1 / 1987, seluruh Pengembang diwajibkan untuk menyerahkan seluruh sarana prasaranana lingkungan termasuk Fasum / Fasos, kepada : 

A.      Departemen Dalam Negeri RI
B.        Departemen Pekerjaan Umum RI

C.       Organisasi Masyarakat Peserta Konsolidasi Tanah
D.       Pemerintah Daerah setempat.



Umpan Balik Tindak Lanjut.
Apabila dari test formatif ini, peserta pelatihan memperoleh nilai 80% ke atas benar, maka peserta pelatihan dapat melanjutkan ke bab berikutnya. Namun, apabila hasil yang diperoleh kurang dari 80%, peserta pelatihan sebaiknya mengulang kembali pada bab ini. Untuk mengetahui nilai, maka digunakan rumus sebagai berikut:

            Nilai  =     Jumlah Jawaban yang Benar    x 100%
                                         Jumlah Soal




                                       

                

0 komentar: